Kamis, 19 Maret 2015

Menyelamatkan Paten Domestik

Print PDF Facebook Twitter Email

Medy P Sargo
Kepala Bidang Perguruan Tinggi & Lemlitbang, Asdep Kekayaan Intelektual & Standardisasi Iptek, Kemenristek

Tidak satu pun negara di dunia yang tidak memiliki kebergantungan pada teknologi tertentu dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonominya. Bahkan, seluruh aktivitas masyarakat zaman modern ini tidak luput dari penggunaan teknologi, tak terkecuali teknologi impor yang sudah dipatenkan.

Indonesia tentu masih tergolong negara yang bergantung cukup besar pada teknologi impor bidang manufaktur, pertambangan, informasi, maupun pertanian. Dibanding teknologi impor, tak banyak teknologi domestik yang cukup berkiprah dalam industri berbasis teknologi.

Beberapa lembaga penelitian dan pengembangan bidang iptek di Indonesia masih harus berjuang keras untuk bisa menggaet kalangan industri sebagai mitra, baik untuk pengembangan teknologi maupun penerapannya. Ratusan paten lembaga-lembaga penelitian maupun perguruan tinggi kurang diminati industri.

Teknologi hasil penelitian dan pengembangan beberapa lembaga litbang dan perguruan tinggi yang telah dilindungi patennya tidak sampai 10 persen yang digunakan industri. Banyak faktor yang memengaruhi. Salah satu yang penting disoroti sebagai akibat kelangkaan penggunaan paten-paten domestik oleh industri karena tidak ada iklim yang kondusif di dalam kegiatan penelitian dan pengembangan dengan berorientasi pada paten bernilai ekonomi tinggi.

Wajib Bayar

Pemegang paten wajib membayar biaya pemeliharaan tahunan selama masa perlindungan berlangsung. Lalai selama tiga tahun berturut-turut terhadap kewajiban tersebut dapat berakibat status perlindungan patennya gugur. Ketentuan demikian diatur pada Pasal 115 Ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Faktanya memang banyak penunggak biaya pemeliharaan sehingga patennya terancam gugur.

Ada sekitar 6.400 paten asing dan 1.600 domestik terancam gugur karena sudah tiga tahun berturut-turut tidak dibayar biaya pemeliharaannya di Indonesia. Akibatnya paten-paten itu akan menjadi milik umum (public domain).

Sebuah paten sejak dinyatakan gugur tidak lagi dapat dikuasai secara eksklusif oleh perseorangan maupun kelompok tertentu, melainkan menjadi public domain. Siapa pun kemudian berhak atas paten gugur tersebut untuk mendayagunakannya secara komersial sekalipun. Bahkan, tidak perlu menunggu penawaran atau penyerahan dari pihak tertentu, termasuk pemerintah.

Untuk paten-paten milik asing dalam kasus demikian, secara strategis menguntungkan masyarakat industri dalam negeri karena dengan demikian mereka dapat menggunakan paten-paten gugur tersebut secara bebas tanpa punya kewajiban mengikatkan diri pada pemiliknya di luar negeri.

Persoalannya menjadi agak berbeda dengan paten domestik yang status perlindungannya digugurkan karena alasan yang sama. Kendati secara strategis dapat menguntungkan masyarakat industri, sekaligus bisa berarti menimbulkan kelemahan pertahanan pasar Indonesia dari serbuan produk-produk impor yang menggunakan paten domestik yang kini menjadi milik umum tersebut. Paten-paten public domain pada akhirnya tidak punya daya tangkal.

Salah satu problem yang dihadapi Indonesia adalah kuatnya orientasi masyarakat pada produk-produk impor, sementara daya saing produk dalam negeri masih lemah dan umumnya belum dapat mengimbangi produk-produk impor.

Penyelamatan

Sejauh ini, paten mampu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, tidak saja dari pendapatan royalti lisensi paten, tetapi juga dari pajak yang ditimbulkannya. Terbukti penerimaan devisa terbesar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2011 ternyata dari royalti paten yang dilisensikan ke berbagai industri seluruh dunia. AS yang terbesar, disusul Jepang, Prancis, Jerman, dan Inggris.

Paten-paten milik asing yang gugur di Indonesia, meskipun memberi peluang pemanfaatan secara cuma-cuma oleh industri dalam negeri, namun jika produknya diekspor ke suatu negara di mana paten yang digunakan tersebut masih dilindungi, maka produk tersebut bisa jadi akan ditolak di negara itu.
Maka, industri pengguna paten public domain mesti punya akses dan kemampuan menelusuri paten (patent searching) hingga ke negara tujuan pasar. Hal itu untuk menghindari terjadinya penggunaan duplikasi paten milik pihak lain yang masih hidup perlindungannya.

Ada baiknya Indonesia meniru Thailand. Negeri Gajah Putih tersebut dalam sepuluh tahun ini menggemakan spirit patent war dalam menghadapi bombardir paten impor di era perdagangan global. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia menelorkan kebijakan membantu biaya pemeliharaan paten domestik lewat program insentif. Mereka benar-benar melindungi pengusaha dalam negeri. Indonesia juga perlu melakukan langkah-langkah sebagaimana kebijaksan diambil Bankok.

Misalnya, ketika suatu paten terancam status perlindungan hukumnya karena tidak dibayar biaya pemeliharaannya maka negara sebaiknya melanjutkan pembiayaan pemeliharaan tersebut agar tetap dapat dilindungi. Tentu ini harus diseleksi ketat.

Kebijakan demikian akan sangat membantu menyelamatkan paten domestik dari ancaman pengguguran status perlindungannya. Sebab dengan tetap terpeliharanya suatu paten tertentu kendatipun belum memberi manfaat ekonomi, dia dapat digunakan untuk menangkal produk impor yang masuk menggunakan paten tersebut.

Kasus serupa bisa dihadapi Indonesia di pasar luar negeri sebab gugurnya paten luar negeri di Indonesia karena biaya pemeliharaannya tiga tahun berturut-turut tidak dibayar, tidak serta-merta menggugurkan paten itu di negara lain. Pemerintah perlu membahas masalah ini dan mengambil langkah-langkah konkret. (Dimuat di Harian Koran Jakarta, 28 Agustus 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar