Kamis, 19 Maret 2015

Menanti Royalti Inventor

Print PDF Facebook Twitter Email

Medy P Sargo
Penulis adalah Kepala Bidang Perti & Lemlitbang - Kemenristek 

Dalam sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi banyak tokoh inventor (penemu teknologi baru) yang dikenal di tingkat dunia seperti Michael Faraday (1791–1867), penemu dinamo. Lalu, Thomas Alfa Edison (1847–1931) inventor lampu pijar. Banyak tentunya yang mendengar nama Albert Einstein (1879–1955), penemu teori relativitas bidang fisika.

Kehidupan mereka cukup mapan karena mendapat royalti (imbalan bagi hasil) dari kegiatan inovasi yang dilaksanakan industri pengguna paten. Jauh berbeda dengan kehidupan inventor Indonesia, khususnya yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) karena tidak dapat menikmati hak royalti, kendati dijamin undang-undang. 

Penemu PNS, walaupun bukan pemilik paten, undang-undang menjamin sebagai pemegang hak moral (moral rights) dan ekonomi (economic rights). Hak ekonomi tersebut cukup jelas dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 
Di situ disebutkan inventor berhak mendapat imbalan layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari temuan tersebut. Ketentuan tersebut tentunya berlaku secara umum untuk semua inventor, baik yang bekerja untuk lembaga pemerintah maupun swasta.

Hak tersebut bukan sekadar tuntutan meraih kesejahteraan sepadan. Lebih tepat dikatakan sebagai upaya mengukur keadilan bagi mereka yang telah bekerja keras, berkontribusi pada perekonomian negara. Manakala penghargaan itu sulit diraih, tidak mengherankan jika banyak inventor hengkang ke mancanegara mencari penghargaan. Bahkan, tidak sedikit anak-anak genius Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan dan berprestasi di luar negeri enggan pulang.

Seorang peneliti Indonesia yang bekerja di Malaysia mengatakan sebuah high project pengembangan pesawat nirawak, separuh penelitinya berasal dari Indonesia. Sementara itu, kabar terbaru diperoleh pada awal 2013 bahwa Perdana Menteri Malaysia mencanangkan kebijakan untuk menjadikan jiran ini sebagai pusat pengembangan industri bioteknologi. 

Kebijakan itu diikuti dengan upaya mempertahankan tenaga ahli yang sudah tinggal di Malaysia. Mereka juga akan meminang tenaga ahli dari berbagai negara. Bisa jadi, strategi Malaysia ini memiliki daya tarik kuat bagi para ahli biotek Indonesia.
 
Meski begitu, tidak dapat diyakini para inventor yang bekerja di luar negeri memperoleh royalti karena bukan warga negara setempat. Ada kecenderungan royalti dikuasai sepenuhnya pemberi kerja. Kompensasinya, mereka digaji jauh lebih tinggi dibanding penghasilan gaji di Indonesia. 

Di Jepang, warga setempat yang menjadi penemu dan bekerja di Riken akan menerima royalti sebesar 50 persen dari nilai penjualan. Royalti di Jepang tidak sama. Karena inventor yang bekerja di Tokyo Institute of Technology memperoleh royalti 30 persen. 

Situasinya tentu sangat berbeda dengan di Indonesia. Lembaga litbang dan perguruan tinggi negeri masih harus berjuang mendapat kelonggaran mengelola royalti dari kegiatan lisensi teknologi. Penerimaan royalti dari pengguna HKI tidak menghadapi kendala, karena umumnya sesuai dengan mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997. 

Namun, ketika lembaga litbang dan perguruan tinggi negeri selaku pemegang HKI harus mengeluarkan sebagian penerimaan royalti yang menjadi hak inventor, kewajiban itu tidak mudah dilaksanakan. Sebab pada dasarnya, dana yang diterima dari pengguna HKI bukan kekayaan pemegang HKI, tapi milik negara yang wajib disetor langsung ke kas negara.

Jika demikian, dipastikan tidak satu pun inventor PNS dapat menikmati royalti secara legal jika dikaitkan dengan ketentuan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kendati undang-undang paten menjamin hak royalti inventor, namun untuk PNS akan berkaitan dengan keuangan negara. Jadi, dalam pelaksanaannya diperlukan perangkat hukum yang sinkron dengan sistem keuangan negara, yang saat ini sedang dicoba untuk disesuaikan. 

Tapi, terobosan tersebut belum sampai kemungkinan mengubah atau merevisi Undang-Undang PNBP. Bagaimanapun, sumber royalti harus mengalir dari undang-undang tersebut. 

Undang-Undang PNBP secara tegas mengatur kewajiban lembaga pemerintah untuk segera menyetorkan seluruh PNBP ke kas negara. Bahwa ada pengaturan mengenai izin penggunaan kembali atas PNBP tersebut untuk tahun berikutnya, memang benar, tapi bukan untuk royalti inventor.

Dalam konteks pengeluaran royalti dari PNBP untuk inventor yang sulit saat mencari dasar hukumnya. Undang-Undang PNBP tidak memberi mandat penerapan sistem royalti inventor. Jika demikian, selagi Undang-Undang PNBP mau direvisi, perlu menyisipkan pasal tentang royalti inventor. (Dimuat di Harian Koran Jakarta, 20 Novembber 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar