Jumat, 20 Maret 2015

HKI dan Persoalan Persepsi



Oleh : Medy P. Sargo

       Tidak dapat dipungkiri hingga kini masih banyak masyarakat yang belum begitu familiar dengan persoalan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau dalam bahasa internasional resminya dikenal dengan Intellectual Property Rights (IPR).
        The World Intellectual Property Organization (WIPO) memberikan definisi IPR sebagai berikut:
Intellectual property shall include the rights relating to: literary, artistic and scientific works, inventions in all field of human endeavor, scientific discoveries, industrial design. trademarks, service marks, and commercial names and designations, protection againts unfair competition, and all other rights resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields .
     Kira-kira terjemahannya sebagai berikut: Kekayaan intelektual adalah meliputi hak yang berkaitan dengan: karya sastra, artistik dan ilmiah, penemuan di segala bidang yang dihasilkan oleh manusia, penemuan-penemuan ilmiah, desain industri. merek dagang, merek layanan, dan nama komersial dan sebutan, perlindungan persaingan tidak sehat, dan semua hak-hak lain yang dihasilkan dari kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmiah, sastra atau seni.
      Pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang dan kemampuan penguasaan teknologi yang pincang di antara negara-negara di dunia, mungkin merupakan salah satu penyebab terseok-seoknya penerapan norma dan standar yang tercakup dalam sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di banyak negara berkembang.
       Salah satu ketentuan yang mengacu pada standar HKI adalah diharuskannya suatu karya intelektual di bidang teknologi dimintakan perlindungan kepada negara sebelum diaplikasikan di industri untuk kegiatan komersial.
Bagi negara-negara industri maju upaya penyesuaian terhadap standar internasional bukanlah persoalan yang sarat hambatan. Hal ini disebabkan umumnya negara-negara industri maju justru merupakan penggagas dan perancang standar internasional tersebut, yang tentunya sejak awal sudah prepare, dan bahkan sumbernya berangkat dari standar yang sudah dimiliki dan diterapkan di negaranya. Meskipun kenyataannya pada kasus-kasus khusus negara industri sendiri seringkali menerapkan standar ganda.
Bagaimanapun penerapan norma dan standar baru dalam masyarakat bisnis di suatu negara yang secara sosial memiliki perbedaan cukup tajam dengan masyarakat negara-negara industri maju, maka akan melahirkan berbagai benturan yang dapat meningkatkan suhu perbedaan menjadi semakin tinggi. Perbedaan ini menjadi lebih nampak ketika negara-negara berkembang sulit melakukan alih teknologi (transfer of technology) dari negara-negara industri maju. Terkesan ada upaya menghambat perkembangan teknologi di negara-negara berkembang untuk tujuan menjadikan pasar abadi.
Negara-negara industri maju pun sepertinya kurang bersabar menunggu terjadinya perubahan pandangan masyarakat di negara-negara berkembang hingga berpihak pada kepentingan negara industri maju. Manakala norma dan standar HKI yang diperkenalkan kepada masyarakat negara berkembang masih memerlukan waktu untuk berproses secara akulturasi. Padahal industri dan perdagangan di bidang kekayaan intelektual memerlukan ruang bebas yang aman dan terjamin dari segala upaya tindakan pelangaran HKI.

Masih Adanya Perbedaan Persepsi
Dalam perjalanan penerapan sistem HKI yang boleh dibilang masih terseok-seok ini, maka hal yang sangat meresahkan semua pihak adalah masih maraknya pelanggaran atas hak kekayaan intelektual, terutama di bidang hak cipta. Inilah persoalan yang tidak habis-habisnya diangkat dalam perbincangan di level dunia. Meski tidak dapat dipungkiri aspek politik ekonomi dalam setiap membedah persoalan pelanggaran ini tidak dapat disembunyikan seketat apapun.
Sejauh ini kita dapat menyaksikan betapa masih berkembangnya pandangan masyarakat yang anti pada upaya-upaya proteksi terhadap karya intelektual bernilai ekonomi tinggi. Hal ini bisa jadi disebabkan belum tercapainya persamaan persepsi menyikapi penerapan standar HKI dalam sistem hukum kita.
Sementara kalangan masih banyak yang memiliki persepsi bahwa penerapan HKI hanyalah sebuah eksploitasi "sikap ketergantungan" suatu masyarakat komunal tertentu pada suatu masyarakat yang menganut kuat hak-hak individualistis. Padahal masih banyak masyarakat yang justru berorientasi pada upaya pemanfaatan hasil karya intelektual secara bersama-sama, dengan mengesampingkan hak ekonomis (economic rights) sebagai "mahkota".
Namun kenyataan lain justru telah menempatkan masyarakat negara berkembang pada posisi strategis sebagai bagian dari masyarakat dunia, yang justru mengagungkan hak-hak ekonomis dari setiap karya intelektual yang dihasilkan.
Apakah perbedaan persepsi itu juga yang menyebabkan rendahnya jumlah pendaftaran paten - salah satu rejim hak kekayaan intelektual - milik orang Indonesia di dunia. Sebagaimana data yang dirilis oleh WIPO, yang menunjukan angka rendah dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapore dan Malaysia? Tabel di bawah menunjukkan paten Indonesia belum mampu mengangkat posisi Indonesia setidaknya di Asia Tenggara.


Perbandingan Jumlah Permintaan Paten Antara Negara-Negara ASEAN dan Jepang
NO

Country
International Patent
Domestic Patent
2009
2010
2009
2010
1
Indonesia
7
15
662
756
2
Malaysia
224
302
1.234
1.275
3
Philippine
21
15
668
746
4
Singapore
593
637
827
892
5
Thailand
20
69
-
-
6
Vietnam
6
7
-
-
7
Japan
29.827
32.156
-
-
Diolah dari sumber WIPO, dan IP Office negara-negara terkait.
 
Kalau kita bandingkan dengan Jepang yang mencapai jumlah fantastis untuk pendaftaran paten internasional melalui PCT (Patent Cooperation Treaty) oleh warga negaranya yakni mencapai 28.785 (2009) dan 29.827 (2010), maka jelas Indonesia belum bisa berbicara di kancah internasional. (Dimuat di Detik.com, Senin, 21/02/2011 11:45 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar