Selasa, 31 Agustus 2021

FORUM PENGAMAT KEKAYAAN INTELEKTUAL Berkomentar:

EMPAT lembaga pemerintah non kementetian (LPNK) yang disebut sebagai Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Tenaga Nuklir (BATAN), serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), telah pupus keberadaannya sejak Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 diundangkan pada tanggql 24 Agustus 2021. Keempat mantan LPNK tersebut kini diposisikan sebagai Organisasi Riset (OR) non struktural yang merupakan alat kelengkapan dari lembaga Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dengan telah masuknya ke dalam tubuh BRIN, maka sesungguhnya tidak tepat lagi penggunaan istilah koordinasi dan integrasi, sebagaimana yang sejak awal digadang-gadang bisa memberi alasan kuat perlunya dibentuk BRIN. Sebab dengan telah menjadi bagian dari kelengkapan BRIN maka sudah dengan sendirinya menjadi bagian dari strategi pengelolaan kegiatan internal BRIN. Berbeda jika keempat OR tersebut masih merupakan lembaga otonom di luar BRIN. Maka relevan jika BRIN tugasnya adalah mengkoordinasikan dan menintegrasikan kegiatan riset yang berada di luar BRIN. Lepas dari persoalan itu, apakah ini merupakan kado Ulang Tahun bagi NKRI yg sedang berulang tahun ke 76 ataukah justru merupakan kado lama yang ditarik kembali oleh Negara ? Yang jelas ini merupakan tantangan bagi BRIN dalam waktu yang singkat ke depan, yaitu harus mampu mengembalikan roh ke-iptek-an nasional yang sempat "demam panas" dalam beberapa waktu lalu, agar bisa kembali stabil secara mental, terutama dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di tingkat dunia. BRIN harus mampu menelorkan jauh lebih banyak kekayaan intelektual berbasis teknologi bernilai strategis serta bernilai ekonomi tinggi hingga mampu leading dalam kegiatan inovasi di Negeri ini. Syukur-syukur mampu mengungguli peringkat perolehan kekayaan intelektual di Asia Tenggara yang masih dikuasai negara-negara berpenduduk jauh lebih sedikit dari pada Indonesia, seperti Singapore, Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, dll. Semoga saja BRIN bisa menelorkan output dan outcomes yang membahagiakan hati rakyat Republik Indonesia dalam waktu dekat ini. Aamiin.

Jumat, 27 November 2020

ANDAIKAN VENEZUELA TERDZOLIMI

Venezuela, negeri kaya minyak itu saat ini sedang dalam ancaman peperangan di dalam negeri yang diprovokasi AS. Jika Negeri ini babak belur karena ikut campurnya AS memerangi militer Venezuela, maka dipastikan rakyat Venezuela akan mengalami kesengsaraan yang tak dibayangkan sebelumnya oleh mereka.
Dua kubu antara pendukung pemerintahan sah dan kubu oposisi sama-sama akan dihadapkan pada kesulitan di berbagai sektor. Sebab negeri itu akan menjadi tungku menyala bagi seluruh warganya. Andaipun pemerintahan sah berhasil ditumbangkan dan oposisi mengambil alih kekuasaan atas bantuan asing, maka ke depannya Venezuela tidak akan mampu memulihkan keadaan seperti semula dalam jangka pendek. Pemimpin oposisi untuk sesaat mungkin merasa senang karena mendapatkan "sesuap" kursi kepemimpinan di pemerintahan dengan cara tak terhormat. Akan tetapi para pendukungnya yang ikut punya andil mengacaukan keadaan negerinya sendiri justru tak bisa mencicipi kebahagiaan selain hanya nestapa untuk waktu yang lama. Sebab ancaman bakal kehilangan harta benda dan keluarganya pastinya sulit dihindari dari peperangan.
Kehidupan Tak Normal.
Tak satupun orang yang bisa hidup normal di tengah peperangan yang tak mungkin bisa reda dalam sekejap. Sebab seluruh rakyat akan diliputi perasaan saling dendam dan curiga antara satu sama lain setelah kehilangan hal yang paling berharga dalam kehidupan normalnya.
Sepanjang waktu akan muncul teror, baik di siang hari maupun di malam hari yang gelap gulita. Tak ada suplai makanan, air bersih, obat-obatan dan kenyamanan tidur.  Venezuela bukan negara yang berpengalaman mengatasi perang saudara. Semua akan saling boikot dan merasa enteng untuk saling bunuh. Seperti pernah dialami Libya. Sementara para provokatornya sudah lepas tangan melarikan diri ke negeri-negeri seberang dalam jaminan tuan sponsornya.
Sekali-kali bom akan dijatuhkan pasukan asing menggempur tempat-tempat yang secara tiba-tiba akan dilabeli sebagai sarang "teroris". Padahal mungkin dibikin salah sasaran, dan yang akan menjadi korban adalah warga sipil biasa. Yang penting bom dijatuhkan untuk menciptakan suasana mencekam dan sekaligus sebagai peringatan kepada pemimpin oposisi agar jangan sekali-kali ingkar memenuhi janjinya untuk menyerahkan dominasi konsesi pengelolaan sumberdaya alam kepada negara adidaya yang membantunya meraih kekuasaan.
Rakyat Korban Hasutan.
Ketika nanti para pemimpin oposisi meraih mimpinya untuk berkuasa dan terjamin segala-galanya di istana.  Namun tidak demikian dengan pendukungnya. Mereka para pendukungnya justru tak lebih hanya merupakan sekelompok manusia yang ikut andil menghancurkan negerinya sendiri dan kemudian menjadi nelongso, yang pada awalnya pernah termakan hasutan para elit dari kalangan oposisi yang dibantu kelompok preman pengecut yang satu per satu bisa saja lari ke tempat pengasingan sementara di luar negeri. Sementara rakyat hanya tinggal mencicipi penderitaan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Satu alasan kenapa pasukan asing berani menginjak tanah Venezuela? Hal itu dikarenakan meyakini bahwa di negeri minyak tersebut telah berhasil diciptakan perpecahan, hingga merapuhkan persatuan yang seharusnya merupakan modal  bagi keutuhan negeri kaya minyak itu. Sejak beberapa tahun ke belakang di negeri itu terdapat satu pihak yang tak faham arti persatuan sebagai kekuatan bagi bertahan diri dari invasi asing.
Kalau ada yang tak mampu merasakan kekhawatiran  rakyat Venezuela saat ini, maka hatinya pasti  terbuat dari batu. Semoga  Indonesia tidak mengalami apa yang dialami Venezuela.

Sabtu, 20 April 2019

Tonil dan Impian Asing

Mengamati situasi yang berkembang belakangan ini. Apa yang saya rasakan hingga menyentuh sel-sel darah saya, adalah adanya kecenderungan pihak-pihak tertentu ingin menyingkirkan Jokowi. Bukan soal kalah dan menang lagi. Tetapi yang tertanam dalam lubuk hati dan kepala mereka adalah yang penting Jokowi lengser. Ini tentu akan tertanam di pihak-pihak yang memiliki kepentingan ke arah itu. Lalu mereka bersinergi. Adakah unsur asing di dalamnya. Saya menduga kuat, ada.

Satu pihak ada yang dendam karena aspirasinya untuk menumbangkan Pancasila dijegal Jokowi. Satu pihak lain ada yang tak senang jika Jokowi punya kebijakan ekonomi yang mengancam kepentingan negara2 industri tertentu. Satu pihak lain lagi ada yang tidak senang jika Jokowi akan membereskan korupsi, pengemplang pajak, perampok harta negara yang menyimpannya di bank-bank asing dan lain sebagainya. Sementara alasan-alasan pembenaran akan mengemuka dan dikemas sedemikian rupa untuk mengelabui rakyat. Buntut-buntutnya tema kecurangan pun disematkan ke leher Jokowi sebagai pemimpin negara saat ini. Puncaknya apa? Tentu menuntut Jokowi lengser sebagai kepala negara.

Tunggu..! Tahun 1998 Soeharto bisa dengan mudah dilengserkan, dikarenakan hampir seluruh komponen bangsa mendukung gerakan pelengseran itu. Namun sekarang berbeda keadaannya. Tak semudah itu.  Bangsa ini punya cita-cita yang lebih luhur dari sekedar petualangan yang dikendalikan pihak-pihak tertentu yang loyal pada impian asing.

Jika anda-anda punya keinginan hidup sejahtera sebagai suatu bangsa di masa depan, maka jangan percaya pada konsep asing dan harus membuka mata serta menutup hati untuk memfasilitasi impian bangsa asing untuk meruntuhkan negeri ini.

Sekalipun kita dalam perbedaan, tapi pasti masih bisa bekerjasama membangun Negeri sendiri sambil merawat kearifan lokal Nusantara dengan penuh kesadaran nasionalisme. Bagi Jokowi mungkin soal sepele tidak menjabat lagi presiden. Tapi beliau pasti tak ikhlas jika Negeri ini terbiarkan dikuasai oleh asing melalui anasir-anasirnya yang berkeliaran dengan berbagai kedok aspiratif positif di seantero Nusantara ini. Begitupun saya, tak ikhlas. Anda bagaimana? (Medy P Sargo)

Jumat, 20 Maret 2015

HKI dan Persoalan Persepsi



Oleh : Medy P. Sargo

       Tidak dapat dipungkiri hingga kini masih banyak masyarakat yang belum begitu familiar dengan persoalan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau dalam bahasa internasional resminya dikenal dengan Intellectual Property Rights (IPR).
        The World Intellectual Property Organization (WIPO) memberikan definisi IPR sebagai berikut:
Intellectual property shall include the rights relating to: literary, artistic and scientific works, inventions in all field of human endeavor, scientific discoveries, industrial design. trademarks, service marks, and commercial names and designations, protection againts unfair competition, and all other rights resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields .
     Kira-kira terjemahannya sebagai berikut: Kekayaan intelektual adalah meliputi hak yang berkaitan dengan: karya sastra, artistik dan ilmiah, penemuan di segala bidang yang dihasilkan oleh manusia, penemuan-penemuan ilmiah, desain industri. merek dagang, merek layanan, dan nama komersial dan sebutan, perlindungan persaingan tidak sehat, dan semua hak-hak lain yang dihasilkan dari kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmiah, sastra atau seni.
      Pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang dan kemampuan penguasaan teknologi yang pincang di antara negara-negara di dunia, mungkin merupakan salah satu penyebab terseok-seoknya penerapan norma dan standar yang tercakup dalam sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di banyak negara berkembang.
       Salah satu ketentuan yang mengacu pada standar HKI adalah diharuskannya suatu karya intelektual di bidang teknologi dimintakan perlindungan kepada negara sebelum diaplikasikan di industri untuk kegiatan komersial.
Bagi negara-negara industri maju upaya penyesuaian terhadap standar internasional bukanlah persoalan yang sarat hambatan. Hal ini disebabkan umumnya negara-negara industri maju justru merupakan penggagas dan perancang standar internasional tersebut, yang tentunya sejak awal sudah prepare, dan bahkan sumbernya berangkat dari standar yang sudah dimiliki dan diterapkan di negaranya. Meskipun kenyataannya pada kasus-kasus khusus negara industri sendiri seringkali menerapkan standar ganda.
Bagaimanapun penerapan norma dan standar baru dalam masyarakat bisnis di suatu negara yang secara sosial memiliki perbedaan cukup tajam dengan masyarakat negara-negara industri maju, maka akan melahirkan berbagai benturan yang dapat meningkatkan suhu perbedaan menjadi semakin tinggi. Perbedaan ini menjadi lebih nampak ketika negara-negara berkembang sulit melakukan alih teknologi (transfer of technology) dari negara-negara industri maju. Terkesan ada upaya menghambat perkembangan teknologi di negara-negara berkembang untuk tujuan menjadikan pasar abadi.
Negara-negara industri maju pun sepertinya kurang bersabar menunggu terjadinya perubahan pandangan masyarakat di negara-negara berkembang hingga berpihak pada kepentingan negara industri maju. Manakala norma dan standar HKI yang diperkenalkan kepada masyarakat negara berkembang masih memerlukan waktu untuk berproses secara akulturasi. Padahal industri dan perdagangan di bidang kekayaan intelektual memerlukan ruang bebas yang aman dan terjamin dari segala upaya tindakan pelangaran HKI.

Masih Adanya Perbedaan Persepsi
Dalam perjalanan penerapan sistem HKI yang boleh dibilang masih terseok-seok ini, maka hal yang sangat meresahkan semua pihak adalah masih maraknya pelanggaran atas hak kekayaan intelektual, terutama di bidang hak cipta. Inilah persoalan yang tidak habis-habisnya diangkat dalam perbincangan di level dunia. Meski tidak dapat dipungkiri aspek politik ekonomi dalam setiap membedah persoalan pelanggaran ini tidak dapat disembunyikan seketat apapun.
Sejauh ini kita dapat menyaksikan betapa masih berkembangnya pandangan masyarakat yang anti pada upaya-upaya proteksi terhadap karya intelektual bernilai ekonomi tinggi. Hal ini bisa jadi disebabkan belum tercapainya persamaan persepsi menyikapi penerapan standar HKI dalam sistem hukum kita.
Sementara kalangan masih banyak yang memiliki persepsi bahwa penerapan HKI hanyalah sebuah eksploitasi "sikap ketergantungan" suatu masyarakat komunal tertentu pada suatu masyarakat yang menganut kuat hak-hak individualistis. Padahal masih banyak masyarakat yang justru berorientasi pada upaya pemanfaatan hasil karya intelektual secara bersama-sama, dengan mengesampingkan hak ekonomis (economic rights) sebagai "mahkota".
Namun kenyataan lain justru telah menempatkan masyarakat negara berkembang pada posisi strategis sebagai bagian dari masyarakat dunia, yang justru mengagungkan hak-hak ekonomis dari setiap karya intelektual yang dihasilkan.
Apakah perbedaan persepsi itu juga yang menyebabkan rendahnya jumlah pendaftaran paten - salah satu rejim hak kekayaan intelektual - milik orang Indonesia di dunia. Sebagaimana data yang dirilis oleh WIPO, yang menunjukan angka rendah dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapore dan Malaysia? Tabel di bawah menunjukkan paten Indonesia belum mampu mengangkat posisi Indonesia setidaknya di Asia Tenggara.


Perbandingan Jumlah Permintaan Paten Antara Negara-Negara ASEAN dan Jepang
NO

Country
International Patent
Domestic Patent
2009
2010
2009
2010
1
Indonesia
7
15
662
756
2
Malaysia
224
302
1.234
1.275
3
Philippine
21
15
668
746
4
Singapore
593
637
827
892
5
Thailand
20
69
-
-
6
Vietnam
6
7
-
-
7
Japan
29.827
32.156
-
-
Diolah dari sumber WIPO, dan IP Office negara-negara terkait.
 
Kalau kita bandingkan dengan Jepang yang mencapai jumlah fantastis untuk pendaftaran paten internasional melalui PCT (Patent Cooperation Treaty) oleh warga negaranya yakni mencapai 28.785 (2009) dan 29.827 (2010), maka jelas Indonesia belum bisa berbicara di kancah internasional. (Dimuat di Detik.com, Senin, 21/02/2011 11:45 WIB)

Kamis, 19 Maret 2015

Menyelamatkan Paten Domestik

Print PDF Facebook Twitter Email

Medy P Sargo
Kepala Bidang Perguruan Tinggi & Lemlitbang, Asdep Kekayaan Intelektual & Standardisasi Iptek, Kemenristek

Tidak satu pun negara di dunia yang tidak memiliki kebergantungan pada teknologi tertentu dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonominya. Bahkan, seluruh aktivitas masyarakat zaman modern ini tidak luput dari penggunaan teknologi, tak terkecuali teknologi impor yang sudah dipatenkan.

Indonesia tentu masih tergolong negara yang bergantung cukup besar pada teknologi impor bidang manufaktur, pertambangan, informasi, maupun pertanian. Dibanding teknologi impor, tak banyak teknologi domestik yang cukup berkiprah dalam industri berbasis teknologi.

Beberapa lembaga penelitian dan pengembangan bidang iptek di Indonesia masih harus berjuang keras untuk bisa menggaet kalangan industri sebagai mitra, baik untuk pengembangan teknologi maupun penerapannya. Ratusan paten lembaga-lembaga penelitian maupun perguruan tinggi kurang diminati industri.

Teknologi hasil penelitian dan pengembangan beberapa lembaga litbang dan perguruan tinggi yang telah dilindungi patennya tidak sampai 10 persen yang digunakan industri. Banyak faktor yang memengaruhi. Salah satu yang penting disoroti sebagai akibat kelangkaan penggunaan paten-paten domestik oleh industri karena tidak ada iklim yang kondusif di dalam kegiatan penelitian dan pengembangan dengan berorientasi pada paten bernilai ekonomi tinggi.

Wajib Bayar

Pemegang paten wajib membayar biaya pemeliharaan tahunan selama masa perlindungan berlangsung. Lalai selama tiga tahun berturut-turut terhadap kewajiban tersebut dapat berakibat status perlindungan patennya gugur. Ketentuan demikian diatur pada Pasal 115 Ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Faktanya memang banyak penunggak biaya pemeliharaan sehingga patennya terancam gugur.

Ada sekitar 6.400 paten asing dan 1.600 domestik terancam gugur karena sudah tiga tahun berturut-turut tidak dibayar biaya pemeliharaannya di Indonesia. Akibatnya paten-paten itu akan menjadi milik umum (public domain).

Sebuah paten sejak dinyatakan gugur tidak lagi dapat dikuasai secara eksklusif oleh perseorangan maupun kelompok tertentu, melainkan menjadi public domain. Siapa pun kemudian berhak atas paten gugur tersebut untuk mendayagunakannya secara komersial sekalipun. Bahkan, tidak perlu menunggu penawaran atau penyerahan dari pihak tertentu, termasuk pemerintah.

Untuk paten-paten milik asing dalam kasus demikian, secara strategis menguntungkan masyarakat industri dalam negeri karena dengan demikian mereka dapat menggunakan paten-paten gugur tersebut secara bebas tanpa punya kewajiban mengikatkan diri pada pemiliknya di luar negeri.

Persoalannya menjadi agak berbeda dengan paten domestik yang status perlindungannya digugurkan karena alasan yang sama. Kendati secara strategis dapat menguntungkan masyarakat industri, sekaligus bisa berarti menimbulkan kelemahan pertahanan pasar Indonesia dari serbuan produk-produk impor yang menggunakan paten domestik yang kini menjadi milik umum tersebut. Paten-paten public domain pada akhirnya tidak punya daya tangkal.

Salah satu problem yang dihadapi Indonesia adalah kuatnya orientasi masyarakat pada produk-produk impor, sementara daya saing produk dalam negeri masih lemah dan umumnya belum dapat mengimbangi produk-produk impor.

Penyelamatan

Sejauh ini, paten mampu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, tidak saja dari pendapatan royalti lisensi paten, tetapi juga dari pajak yang ditimbulkannya. Terbukti penerimaan devisa terbesar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2011 ternyata dari royalti paten yang dilisensikan ke berbagai industri seluruh dunia. AS yang terbesar, disusul Jepang, Prancis, Jerman, dan Inggris.

Paten-paten milik asing yang gugur di Indonesia, meskipun memberi peluang pemanfaatan secara cuma-cuma oleh industri dalam negeri, namun jika produknya diekspor ke suatu negara di mana paten yang digunakan tersebut masih dilindungi, maka produk tersebut bisa jadi akan ditolak di negara itu.
Maka, industri pengguna paten public domain mesti punya akses dan kemampuan menelusuri paten (patent searching) hingga ke negara tujuan pasar. Hal itu untuk menghindari terjadinya penggunaan duplikasi paten milik pihak lain yang masih hidup perlindungannya.

Ada baiknya Indonesia meniru Thailand. Negeri Gajah Putih tersebut dalam sepuluh tahun ini menggemakan spirit patent war dalam menghadapi bombardir paten impor di era perdagangan global. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia menelorkan kebijakan membantu biaya pemeliharaan paten domestik lewat program insentif. Mereka benar-benar melindungi pengusaha dalam negeri. Indonesia juga perlu melakukan langkah-langkah sebagaimana kebijaksan diambil Bankok.

Misalnya, ketika suatu paten terancam status perlindungan hukumnya karena tidak dibayar biaya pemeliharaannya maka negara sebaiknya melanjutkan pembiayaan pemeliharaan tersebut agar tetap dapat dilindungi. Tentu ini harus diseleksi ketat.

Kebijakan demikian akan sangat membantu menyelamatkan paten domestik dari ancaman pengguguran status perlindungannya. Sebab dengan tetap terpeliharanya suatu paten tertentu kendatipun belum memberi manfaat ekonomi, dia dapat digunakan untuk menangkal produk impor yang masuk menggunakan paten tersebut.

Kasus serupa bisa dihadapi Indonesia di pasar luar negeri sebab gugurnya paten luar negeri di Indonesia karena biaya pemeliharaannya tiga tahun berturut-turut tidak dibayar, tidak serta-merta menggugurkan paten itu di negara lain. Pemerintah perlu membahas masalah ini dan mengambil langkah-langkah konkret. (Dimuat di Harian Koran Jakarta, 28 Agustus 2013)

Menanti Royalti Inventor

Print PDF Facebook Twitter Email

Medy P Sargo
Penulis adalah Kepala Bidang Perti & Lemlitbang - Kemenristek 

Dalam sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi banyak tokoh inventor (penemu teknologi baru) yang dikenal di tingkat dunia seperti Michael Faraday (1791–1867), penemu dinamo. Lalu, Thomas Alfa Edison (1847–1931) inventor lampu pijar. Banyak tentunya yang mendengar nama Albert Einstein (1879–1955), penemu teori relativitas bidang fisika.

Kehidupan mereka cukup mapan karena mendapat royalti (imbalan bagi hasil) dari kegiatan inovasi yang dilaksanakan industri pengguna paten. Jauh berbeda dengan kehidupan inventor Indonesia, khususnya yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) karena tidak dapat menikmati hak royalti, kendati dijamin undang-undang. 

Penemu PNS, walaupun bukan pemilik paten, undang-undang menjamin sebagai pemegang hak moral (moral rights) dan ekonomi (economic rights). Hak ekonomi tersebut cukup jelas dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 
Di situ disebutkan inventor berhak mendapat imbalan layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari temuan tersebut. Ketentuan tersebut tentunya berlaku secara umum untuk semua inventor, baik yang bekerja untuk lembaga pemerintah maupun swasta.

Hak tersebut bukan sekadar tuntutan meraih kesejahteraan sepadan. Lebih tepat dikatakan sebagai upaya mengukur keadilan bagi mereka yang telah bekerja keras, berkontribusi pada perekonomian negara. Manakala penghargaan itu sulit diraih, tidak mengherankan jika banyak inventor hengkang ke mancanegara mencari penghargaan. Bahkan, tidak sedikit anak-anak genius Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan dan berprestasi di luar negeri enggan pulang.

Seorang peneliti Indonesia yang bekerja di Malaysia mengatakan sebuah high project pengembangan pesawat nirawak, separuh penelitinya berasal dari Indonesia. Sementara itu, kabar terbaru diperoleh pada awal 2013 bahwa Perdana Menteri Malaysia mencanangkan kebijakan untuk menjadikan jiran ini sebagai pusat pengembangan industri bioteknologi. 

Kebijakan itu diikuti dengan upaya mempertahankan tenaga ahli yang sudah tinggal di Malaysia. Mereka juga akan meminang tenaga ahli dari berbagai negara. Bisa jadi, strategi Malaysia ini memiliki daya tarik kuat bagi para ahli biotek Indonesia.
 
Meski begitu, tidak dapat diyakini para inventor yang bekerja di luar negeri memperoleh royalti karena bukan warga negara setempat. Ada kecenderungan royalti dikuasai sepenuhnya pemberi kerja. Kompensasinya, mereka digaji jauh lebih tinggi dibanding penghasilan gaji di Indonesia. 

Di Jepang, warga setempat yang menjadi penemu dan bekerja di Riken akan menerima royalti sebesar 50 persen dari nilai penjualan. Royalti di Jepang tidak sama. Karena inventor yang bekerja di Tokyo Institute of Technology memperoleh royalti 30 persen. 

Situasinya tentu sangat berbeda dengan di Indonesia. Lembaga litbang dan perguruan tinggi negeri masih harus berjuang mendapat kelonggaran mengelola royalti dari kegiatan lisensi teknologi. Penerimaan royalti dari pengguna HKI tidak menghadapi kendala, karena umumnya sesuai dengan mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997. 

Namun, ketika lembaga litbang dan perguruan tinggi negeri selaku pemegang HKI harus mengeluarkan sebagian penerimaan royalti yang menjadi hak inventor, kewajiban itu tidak mudah dilaksanakan. Sebab pada dasarnya, dana yang diterima dari pengguna HKI bukan kekayaan pemegang HKI, tapi milik negara yang wajib disetor langsung ke kas negara.

Jika demikian, dipastikan tidak satu pun inventor PNS dapat menikmati royalti secara legal jika dikaitkan dengan ketentuan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kendati undang-undang paten menjamin hak royalti inventor, namun untuk PNS akan berkaitan dengan keuangan negara. Jadi, dalam pelaksanaannya diperlukan perangkat hukum yang sinkron dengan sistem keuangan negara, yang saat ini sedang dicoba untuk disesuaikan. 

Tapi, terobosan tersebut belum sampai kemungkinan mengubah atau merevisi Undang-Undang PNBP. Bagaimanapun, sumber royalti harus mengalir dari undang-undang tersebut. 

Undang-Undang PNBP secara tegas mengatur kewajiban lembaga pemerintah untuk segera menyetorkan seluruh PNBP ke kas negara. Bahwa ada pengaturan mengenai izin penggunaan kembali atas PNBP tersebut untuk tahun berikutnya, memang benar, tapi bukan untuk royalti inventor.

Dalam konteks pengeluaran royalti dari PNBP untuk inventor yang sulit saat mencari dasar hukumnya. Undang-Undang PNBP tidak memberi mandat penerapan sistem royalti inventor. Jika demikian, selagi Undang-Undang PNBP mau direvisi, perlu menyisipkan pasal tentang royalti inventor. (Dimuat di Harian Koran Jakarta, 20 Novembber 2013)

Nyanyian Pilu Kemitraan Riset

Print PDF Facebook Twitter Email

Medy P Sargo 
Penulis adalah Kabid Perti dan Lemlitbang – Asdep Kekayaan Intelektual dan Standardisasi Iptek, Kemenristek

Ketergantungan Indonesia pada teknologi impor tampaknya belum bisa disudahi meski tak mungkin lepas sepenuhnya. Namun, jika mampu mengembangkan kemandirian niscaya akan memberi harapan lebih besar untuk mencapai lompatan menuju bangsa dan negara bermartabat. Dan, untuk mencapai ke arah itu, tentu saja Indonesia akan selalu memerlukan kemitraan strategis dengan negara-negara maju.

Kemitraan strategis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja dalam wujud penerapan teknologi impor di sektor industri, melainkan juga perlu diupayakan melalui penguatan kolaborasi riset yang setara dengan melibatkan lembaga litbang dan perguruan tinggi dalam pengawasan ketat oleh pemerintah.

Pemerintah tak mungkin harus berdiam diri terhadap eksploitasi lembaga litbang dan perguruan tinggi oleh pihak asing dalam kemitraan riset. Kenyataan ini dapat dilihat dari kecenderungan klaim kepemilikan atas hak kekayaam intelektual (HKI) oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi tidak mencerminkan sebagai hasil kemitraan riset dengan pihak asing. Sementara jumlah permohonan izin penelitian oleh peneliti asing rata-rata mencapai 400 buah proposal dalam setahun. Faktanya, banyak hasil penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia, meski melalui kemitraan riset dengan lembaga litbang atau perguruan tinggi, kepemilikannya diklaim secara sepihak oleh pihak asing. Situasi demikian sudah berlangsung cukup lama, jauh sebelum peraturan tentang izin penelitian bagi orang asing dibuat.

Kemitraan Seimbang

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memerlukan kemitraan yang lebih erat dengan negara-negara industri maju di bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, kemitraan itu sendiri hendaknya tidak menggiring Indonesia pada posisi sekedar pendampingan saja. Melainkan, harus mampu menangkap posisi sebagai mitra utama yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian itu.

Suatu izin penelitian yang diberikan Kementerian Riset dan Teknologi kepada perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, serta orang asing, kadangkala tidak membuahkan hasil penelitian yang dapat diklaim sebagai milik bersama. Kondisi itu disebabkan oleh kekurangsiapan mitra penelitian dalam negeri, terutama tidak ditopang kesepakatan awal yang kuat dalam perjanjian risetnya. 

Padahal, setiap kegiatan penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia seyogianya dapat memberikan manfaat luas bagi pengembangan iptek itu sendiri. Bukan hanya sebatas pada manfaat finansial yang diperoleh dari biaya perizinan dan pengembangan. Karena itu, kegiatan penelitian harus selalu dalam kerangka kemitraan yang seimbang. 

Tak jarang, pendampingan kegiatan peneliti asing oleh tenaga ahli Indonesia lebih tampak berperan sebagai pemandu dan penerjemah bahasa. Sementara hal-hal yang bersifat substansial justru luput dari perhatian peneliti mitra pendamping. 

Tujuan utama dari pengaturan izin penelitian bagi orang asing itu sendiri sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2006 adalah untuk melindungi kepentingan Indonesia. Pertama, tidak boleh terjadi eksploitasi dan pencurian atas sampel yang bersumber dari kekayaan alam Indonesia, meliputi keanekaragaman hayati maupun non-hayati, artefak dan lain sebagainya. Kedua, tercapainya transfer of knowledge dari peneliti asing kepada peneliti Indonesia, bukan sebaliknya. Dan, ketiga, mencegah terjadinya penguasaan secara sepihak atas hasil penelitian yang dilakukan secara bersama-sama di Indonesia.

Perlu Diwaspadai

Dalam pergaulan internasional, keunggulan ekonomi negara-negara maju, yang meliputi pula bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh Majelis Umum PBB sebagaimana dituangkan dalam Resolusi 3281 (XXIX) tanggal 12 Desember 1974, mengenai Piagam Hak-hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara, diamanatkan untuk membantu mewujudkan hak negara-negara dunia ketiga dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Walaupun tujuan yang sebenarnya belakangan disadari sebagai bentuk lain dari upaya eksploitasi ekonomis atas negara-negara dunia ketiga. Hal tersebut ti-dak dapat dielakkan namun perlu diwaspadai. Adalah merupakan konsekuensi logis dalam hubungan internasional, dimana dimensi ekonomi merupakan alasan utama terwujudnya kemitraan.

Secara prinsip seyogianya tidak satu pun kegiatan penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia dapat dilaksanakan sendiri tanpa melibatkan lembaga penelitian terkait di dalam negeri. Bahkan, penting dikawal dengan suatu perjanjian riset yang kuat dalam melindungi kepentingan Indonesia. 

Sayangnya, di kalangan dunia penelitian masih terdapat pemahaman konservatif bahwa kontribusi dana pihak asing menjadi main determinants bagi kepemilikan hasil penelitian oleh pihak asing. Sudah barang tentu pemahaman tersebut harus diubah. Sebab, kemitraan riset yang seimbang adalah yang mampu memberikan peluang pemilikan hasil penelitian berdasarkan kontribusi para pihak secara proporsional, baik in-cash maupun in-kind. 

Cara-cara yang digunakan oleh peneliti asing merupakan bagian dari kegiatan mata-mata di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini yang kemudian dikenal sebagai bagian dari techno-nationalism, sikap makin tertutup negara-negara maju dalam mempublikasikan hasil-hasil teknologinya demi mempertahankan supremasi ilmiah. Sementara melalui berbagai cara persuasif justru melakukan pencurian ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara-negara berkembang. Sungguh sangat memilukan! (Dimuat di Harian Suara Karya, 21 November 2013)