Jumat, 01 Februari 2013

Kiat Bill Gates dan Impian IGOS

Kiat Bill Gates dan Impian IGOS
Print PDF Facebook Twitter Email

Medy P. Sargo
Kepala Bidang Perguruan Tinggi dan Lemlitbang, Asdep Kekayaan Intelektual dan Standardisasi Iptek, Kemenristek

Masih teringat pada kunjungan Bill Gates ke Indonesia di tahun 2008, yang disambut Presiden RI secara protokoler di Istana Negara. Rupanya Bill Gates sebagai seorang “raja” dari kerajaan bisnis teknologi informasi tidak dianggap sebagai tamu biasa.
   
Bagi Bill Gates sendiri tentu bukan yang pertamakalinya ia menerima penghormatan hangat dari seorang kepala negara asing yang dikunjunginya. Ia telah mengunjungi berbagai negara yang dianggap penting dan memiliki prospek yang bagus untuk masa depan kerajaan bisnis teknologi informasinya, diantaranya India dan China.
   
Bill Gates adalah sosok yang boleh dibilang amat populer di dunia teknologi informasi.  Bukan saja karena keuletan dan kegigihannya dalam pencapaian hingga dapat mengubah dunia seakan lebih kecil dari ukuran sesungguhnya, namun bahkan telah mempercepat proses transformasi peradaban manusia menuju era dunia maya. Ia juga telah memberi inspirasi bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang informasi di berbagai belahan dunia.
   
Sinyal Keprihatinan
Gates tentu memiliki segudang pengalaman yang kuat dalam perjalanan bisnisnya hingga begitu percaya bahwa betapa pentingnya hak kekayaan intelektual (HKI) dalam bisnis teknologi informasi. Kendati dengan perasaan khawatir dia harus tetap berjuang membangun Microsoft Corporation agar bisa mengungguli Apple yang dipimpin pesaingnya, Steve Jobs yang sudah lebih dulu sukses.
   
Bagi Gates bisnis adalah suatu permainan, perang intelektual dan kemampuan. Ia tidak akan lengah mengabaikan perlindungan terhadap hasil kreasi orang-orang yang mendukung dalam menjalankan bisnisnya di industri TI. Di sisi lain,  Gates adalah seorang ambisius yang memiliki keinginan meminggirkan pesaing-pesaing seperti Apple atau IBM. Lebih jauh dari itu,  terkesan bisa jadi ia tidak menyukai pertumbuhan kemampuan teknologi informasi suatu negara yang menjadi tujuan pasarnya. Pada dasarnya Gates tidak akan mentolerir kegiatan pelanggaran atas hak cipta piranti lunak, karena hal itu akan mencederai   eksistensi kerajaan bisnisnya.
   
Pada Tahun 1997 klaim Amerika atas pelanggaran hak cipta yang dilakukan Indonesia mencapai   668,2  juta  dollar AS,   dan  256,1 juta  dollar  AS  diantaranya  di  bidang  program komputer. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 2007, Indonesia tercatat sebagai negara pada urutan  ketiga  terburuk di dunia setelah Zimbabwe dan Vietnam dalam penggunaan piranti lunak komputer illegal.

Pada tahun 2008, di saat kunjungan Bill Gates ke Indonesia, tercatat adanya kenaikan angka kerugian bila mengacu pada laporan Business Software Association (BSA) dan International Data Corporation (IDC). Laporan tersebut mengungkapkan  bahwa potensi kerugian Amerika Serikat mencapai US$ 544 juta dari pembajakan perangkat lunak di Indonesia di tahun itu. Angka tersebut menegaskan  tingkat pembajakan telah mencapai angka 85%. Konon sebagaimana dilansir berbagai media massa,  Indonesia tercatat pada posisi 12 besar dari 110 negara yang melakukan pembajakan di dunia.
   
Keprihatinan Bill Gates atas maraknya pelanggaran hak cipta di Indonesia rupanya diungkapkan dengan menyodorkan beberapa paket penawaran Bill Gates kepada pemerintah Indonesia. Paket penawaran Bill Gates ini pada dasarnya lebih berorientasi pada pengembangan dunia pendidikan. Salah satunya adalah perluasan pemanfaatan komputer di dunia pendidikan dengan menggunakan perangkat lunak secara gratis. Kemudian tawaran kerjasama riset di bidang pengembangan vaksin flu burung. Hal ini mengingat flu burung sedang menjadi isu penting di tengah masyarakat Indonesia.
   
Pada dasarnya paket tawaran Bill Gates tersebut hanya merupakan bagian dari strategi pemasaran model Gates, walaupun dapat dianggap sebagai sinyal keprihatinan atas maraknya pelanggaran hak cipta piranti lunak. Sebelumnya ada pendapat bahwa alasan mahalnya harga piranti lunak menyebabkan maraknya pembajakan di Indonesia. Itu semua tentu saja sudah masuk di kepala Gates.

Impian IGOS
Sulit bagi Indonesia untuk menampik tawaran Gates, pasalnya Indonesia sudah memasuki dunia informasi yang tidak mungkin mundur ke belakang. Sementara perkembangan teknologi informasi sudah demikian pesat seiring pesatnya perpindahan level teknologi dari generasi tertentu ke generasi yang lebih maju.
   
Terlepas dari persoalan pembajakan hak cipta, Microsoft Corporation nampaknya sudah dapat membuktikan sendiri bahwa perjalanan bisnisnya di Indonesia justru semakin kuat. Terutama setelah kadatangan Bill Gates ke Indonesia dengan mengusung gagasan memajukan pendidikan melalui program biaya murah penggunaan komputer.
   
Sementara penerapan Open Source Software (OSS) dalam rangka Indonesia, go open source (IGOS) sebagaimana digagas pemerintah Indonesia yang semula diperkirakan akan dapat mengurangi dominasi piranti lunak berlisensi secara signifikan, ternyata tidak terbukti. Setidak-tidaknya terkesan pemerintah tiba-tiba memperlambat larinya sebelum mencapai garis finish.
   
Faktanya belum banyak instansi pemerintah yang melakukan migrasi dari software berlisensi ke open source, kecuali Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara,  Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan disusul beberapa kantor pemerintah daerah, khususnya di Propinsi Bali. Walaupun demikian migrasi ke open source di beberapa instansi tersebut rupanya belum menyeluruh. Hal ini disebabkan masih dijumpainya beberapa kelemahan dari OSS yang dikembangkan, sehingga sebagian masih nyaman menggunakan piranti lunak berlisensi.
   
Program IGOS merupakan semangat untuk meningkatkan penggunaan piranti lunak sumber terbuka di Indoneisa. Implikasinya akan memberi lebih banyak alternatif penggunaan piranti lunak oleh masyarakat secara legal dan terjangkau. Sementara perkembangan TI dunia sebagaimana yang diinginkan Bill Gates akan mengarah pada pencapaian impian 10 tahun mendatang terhitung sejak kunjungan pertamakalinya ke Indonesia di tahun 2008. Dimana setiap orang akan dengan mudah berhubungan dengan layar tampilan apa saja yang terdekat. Hal ini tentu saja ini menjadi peluang yang menjanjikan bagi industri piranti lunak. 
   
Impian Bill Gates sah-sah saja. Demikian pula impian bangsa Indonesia untuk bisa menekan tingkat pembajakan melalui upaya penerapan OSS adalah sah adanya. Impian suatu bangsa yang merdeka dan menghormati persaingan sehat serta terbuka dalam semangat globalisasi.

Kesiapan Indonesia
Pendekatan Bill Gates lewat isu pendidikan nampaknya amat taktis dan sangat mengena. Bertepatan ketika Indonesia menyadari bahwa dunia pendidikan tidak boleh tertinggal dalam pemanfaatan teknologi informasi. Melalui dunia pendidikanlah akan lebih mudah membuka hubungan luas dengan dunia luar. Aplikasi komputer selain di dunia bisnis memang sangat tepat diaplikasikan di dunia pendidikan.
   
Kebutuhan mendesak dunia pendidikan terhadap aplikasi software yang mutakhir dengan perkembangan informasi global nampaknya lebih cepat terjawab oleh industri piranti lunak berkelas dunia seperti Microsoft. Sementara penerapan OSS masih saja tertatih-tatih. Kendati pun penggunaan piranti lunak sumber terbuka ini diperkirakan akan mampu mengurangi praktek pembajakan terhadap piranti lunak berlisensi.
   
Sejauh ini ada anggapan bahwa kebijakan atas penerapan OSS adalah merupakan langkah keliru yang dapat melemahkan industri perangkat lunak dan melemahkan daya saing jangka panjang, maka anggapan tersebut hanyalah merupakan upaya kalangan yang berkepetingan dengan dominasi pasar, hingga mencoba merumuskan kembali suatu definisi pelecehan terhadap hak cipta dan mencoba mengkaitkannya dengan isu melemahnya upaya penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta di Indonesia, khususnya di bidang piranti lunak.
   
Pada bulan Februari 2010 International Intellectual Property Alliance (IIPA) yang berkedudukan di Amerika membuka anggapan bahwa Indonesia telah mengabaikan penghormatan terhadap hak cipta. Bahkan lembaga swasta ini mengusulkan  United State Trade Representative (USTR) untuk memasukkan Indonesia, Brazil, India, Filipina, Thailand dan Vietnam dalam daftar negara-negara yang perlu diawasi secara ketat. Alasannya antara lain karena kebijakan pemerintah negara-negara ini yang mendorong penggunaan Open source Software di Institusi Pemerintah.
   
Memang pada akhirnya kebijakan pemerintah untuk mendorong migrasi penggunaan piranti lunak ke sumber terbuka (OSS) tidak akan berhasil jika tidak mendapat dukungan masyarakat. Hal ini karena pemerintah tidak mungkin mengupayakan lebih jauh dari sekedar himbauan. Pemerintah hanya dapat memfasilitasi hak masyarakat dalam bidang penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi informasi.
   
Indonesia dengan segala potensi yang dimiliki memerlukan tokoh-tokoh sukses yang mampu memberi inspirasi. Bill Gates adalah salah satu kisah sukses yang paling dikenal dan menjadi panutan masyarakat ilmu pengetahuan. Sudah semestinya kita berani berharap pada generasi muda ilmu pengetahuan di negeri ini agar muncul sebagai inspirator di bidang pengembangan OSS menuju generasi maju. Pada akhirnya masyarakat akan memiliki banyak pilihan dan menentukan sendiri secara bebas.  (Media HKI, Vol. VIII/Desember 2011)

Royalti, Impian Inventor

Royalti, Impian Inventor
Print PDF Facebook Twitter Email


Medy P Sargo
Kepala Bidang Perguruan Tinggi & Lemlitbang, Kemenristek

Setelah kontroversi mengenai isu kesejahteraan peneliti mengemuka, kini di kalangan dunia kepenelitian muncul isu tentang royalti (imbalan bagi hasil) bagi peneliti, khususnya di kalangan mereka yang telah berhasil menelurkan invensi (penemuan teknologi baru) bernilai ekonomi.

Berbeda dengan pekerja di bidang seni, seperti pencipta lagu atau penulis novel yang bisa kaya mendadak jika karyanya sukses di pasar, jaminan kesejahteraan bagi inventor (orang yang menemukan teknologi baru), khususnya yang berstatus pegawai negeri sipil, baik peneliti maupun perekayasa, masih jauh panggang dari api.

Bagaimana tidak? Bagi inventor yang terikat dengan sebuah institusi tempat mereka bekerja, invensi yang ia hasilkan, sepanjang berkaitan dengan penugasan dan pembiayaan oleh institusi tempatnya bekerja, akan menjadi milik institusi. Inventornya sendiri belum tentu dapat menikmati langsung manfaat ekonomi dari komersialisasi invensi tersebut.

Sungguh pun inventor dapat memiliki hak royalti atau imbalan dari pemanfaatan invensi secara komersial. Namun, pada praktiknya tidak serta-merta dapat meraih impian tersebut. Dalam undang-undang tentang hak kekayaan intelektual (HKl), seperti Undang-Undang Paten atau Undang-Undang Hak Cipta, terdapat ketentuan yang mengatur royalti. Pengaturan itu cukup jelas, misalnya Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 14/2001 tentang Paten menyebutkan bahwa inventor berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi tersebut.

Belum diatur khusus
Hak itu jelas sudah dijamin dalam undang-undang. Namun, bagi institusi pemerintahan, implementasinya memang tidak cukup hanya mendasarkan pada pasal undang-undang tersebut. Memang sulit dimengerti mengapa hingga saat ini belum ada instrumen hukum yang secara khusus bisa melandasi pelaksanaan Pasal12 tersebut.

Sebuah lembaga litbang milik pemerintah ataupun perguruan tinggi negeri tidak memiliki kewenangan atas pengelolaan anggaran yang diterima dari publik. Dalam konteks penerimaan royalti dari industri sebagai kompensasi atas pemanfaatan HKI hasil litbang, oleh UU Nomor 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), penerimaan royalti tersebut diperlakukan sebagai penerimaan negara bukan pajak yang harus segera disetor ke kas negara.

Ketentuan yang demikian cukup masuk akal; ketika negara telah mengeluarkan sekian banyak biaya penelitian kemudian mengklaim kepemilikan hasilnya sebagai aset negara. Namun, ketentuan tersebut sepertinya mengabaikan economic rights seorang inventor, kecuali moral rights semata. Padahal secara nyata seorang inventor telah berkontribusi, khususnya melibatkan brainware dalam kegiatan penelitian hingga menghasilkan teknologi bernilai ekonomi tinggi.

Bila melihat betapa rumitnya sistem penganggaran bagi pelaksanaan kegiatan penelitian yang belum mengakomodasi reward system secara memadai, dapat dipahami jika muncul anggapan bahwa pengaturan sistem keuangan negara untuk kegiatan riset di bidang teknologi terkesan kaku. Menurut hemat penulis, negara bisa saja menerbitkan peraturan yang memungkinkan penyetoran PNBP ke kas negara dilakukan setelah kewajiban pajak dan pembayaran royalti inventor dilaksanakan.

Seorang inventor yang bekerja di sebuah lembaga riset di Amerika, misalnya di Battelle Memorial Institute (BMI) yang berpusat di Columbus City, akan menerima royalti sebesar 10% dari hasil penjualan paten yang dilakukan institusinya. Angka sebesar itu membebaskan inventor dari kewajiban mengelola paten selama masa perlindungannya aktif. Ketentuan itu berlaku juga di sebuah industri pesawat terbang raksasa Boeing yang berpusat di Seattle. Bahkan beberapa perusahaan dan perguruan tinggi di Jepang dan Taiwan juga menerapkan kebijakan yang sama.

Royalti sebagai penghargaan
Pemberian penghargaan dalam bentuk royalti kepada inventor merupakan hal yang lumrah mengingat suatu karya intelektual lahir atas kerja keras seorang atau sekelompok orang yang mengabdikan dirinya pada ilmu pengetahuan. Terlepas apakah kemampuan yang dimiliki seorang inventor merupakan berkat pendidikan yang dibiayai oleh negara atau bukan, yang pasti hasil karya penelitian dapat memberi manfaat bagi kehidupan dan bahkan sangat mungkin menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Namun, tentu saja negara tidak dapat memperlakukan sama terhadap hasil-hasil penelitian. Tidak semua hasil penelitian dapat menggandeng inventornya meraih hak royalti. Royalti hanya patut diberikan kepada inventor jika invensinya telah memberi manfaat ekonomi, dan untuk itu harus dapat dimanfaatkan oleh industri.

Persoalan akan muncul jika sebuah invensi tidak dilindungi dalam sistern hak kekayaan intelektual, sebuah lembaga litbang ataupun perguruan tinggi sebagai penghasil teknologi tidak serta-merta memiliki kewenangan atas pemberian lisensi kepada pihak manapun. Sebab, perjanjian lisensi teknologi hanya mungkin dilakukan jika objek lisensi adalah teknologi yang telah mendapatkan perlindungan hukum dalam sistem HKI.

Tentu saja hasil-hasil penelitian yang tidak dilindungi secara hukum belum bisa dikategorikan ke dalam HKI karena belum memperoleh legalitas kepemilikan dari negara. Kendati, pendaftaran HKI pun sebenarnya baru merupakan asumsi hukum atas legalitas kepemilikan hingga terbukti sebaliknya.

Namun, demikianlah adanya perlakuan hukum atas sebuah karya intelektual. Karena itulah objek dalam perjanjian lisensi harus berstatus jelas, siapa pemilik asetnya. Dengan begitu, pemilik aset berwenang memberikan lisensi dan berhak mendapatkan royalti, hingga turunannya akan jatuh pula kepada royalti inventor.

Sistem royalti akan lebih mendorong para peneliti atau perekayasa fokus pada kegiatan penelitian yang bermanfaat bagi industri. Dengan demikian, sekaligus akan mendorong industri kreatif berkembang pesat hingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih kuat. Pemerintah seyogianya melihat prospek ini sebagai tantangan yang menggairahkan sejalan dengan program pengembangan industri kreatif. Apalagi saat ini pemerintah sedang mengajukan perubahan atas UU Nomor 20/1997. Ini adalah saat yang tepat memasukkan isu royalti inventor dalam daftar inventarisasi masalah bagi perubahan undang-undang PNBP tersebut. Jika tidak, pertanyaannya ialah kapan akan dimulai?  (Media Indonesia, 1 Mei 2012)

Pengganti Mobil Konvensional

Pengganti Mobil Konvensional
Print PDF Facebook Twitter Email


Medy P Sargo
Kepala Bidang Perguruan Tinggi & Lemlitbang, Kemenristek

Beberapa hari lalu, banyak pemberitaan tentang rencana pemerintah mengembangkan mobil listrik yang dijanjikan bakal mampu menggantikan mobil konvensional yang menggunakan bahan bakar minyak. Bukan tanpa alasan pemerintah menggaungkan program mobil listrik ini. Mobil listrik didesain sebagai produk ramah lingkungan dan di saat yang sama pemerintah sedang giat-giatnya mengampanyekan hemat energi bahan bakar minyak sehubungan dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia. Menurut catatan US Geological Survey Oil and Gas Journal, 1995-2000, persediaan cadangan minyak di bumi Indonesia diperkirakan tinggal cukup untuk jangka waktu 15 tahun saja dengan asumsi tingkat konsumsi tinggi 5-6 persen setahun.

Kendati antusiasme masyarakat tidak setinggi ketika mobil Esemka hasil rancangan pelajar SMK Solo diperkenalkan kepada publik, kali ini justru pemerintah sepertinya yang jauh lebih menyemangati program mobil listrik yang akan digiring sebagai mobil nasional. Konon teknologi pendukungnya sudah dilakukan penelitian oleh LIPI sejak tahun 80-an kendati belum satu pun patennya yang terbit ke permukaan. Soal itu, tampaknya tidak jauh berbeda dengan mobil Esemka.

Mobil listrik adalah kendaraan bermesin yang menggunakan listrik penggerak yang disimpan dalam baterai tanpa menggunakan bahan bakar minyak atau gas. Di beberapa negara industri mobil listrik dalam berbagai seri sudah banyak diproduksi. Di antaranya Tesla Roadster, Renault Fluence ZE, Mitsubishi i MiEV, Nissan Leaf, Smart ED, Ford Focus Electric, BMW ActiveE, dan Coda. Namun, hingga awal April 2012 baru sekitar 27.000 unit terjual di seluruh dunia.

Kehadiran mobil listrik nasional nanti diharapkan mampu menjawab persoalan kelangkaan bahan bakar minyak dan gas di masa depan. Beberapa negara di Eropa sudah mulai memikirkan ke arah itu. Kendati sampai sejauh ini belum ada satu negara pun yang berhasil menggantikan mobil konvensional berbahan bakar minyak dengan mobil listrik. Rata-rata baru untuk kalangan terbatas. Lalu bagaimana halnya dengan Indonesia, akankah mobil listrik yang digiring sebagai kendaraan masa depan itu mampu diproduksi secara massal dengan mengandalkan teknologi domestik?

Perlu Waktu

Terlepas dari persoalan kemungkinan pupusnya harapan masyarakat, perlu dikaji dengan kepala dingin terhadap segala aspek yang memengaruhi sebuah produk teknologi bernilai ekonomi tinggi seperti kendaraan bermotor. Sebuah industri otomotif sebesar Toyota, misalnya, ternyata perlu mengembangkan teknologi dan desainnya secara terus-menerus untuk bisa mempertahankan pasarnya di dunia. Begitu pun Hyundai atau industri mobil lain yang telah mendapat tempat di pasar dunia. Apalagi untuk mobil listrik yang masih membutuhkan pengakuan masyarakat dan menuntut perubahan gaya hidup konsumen, khususnya di Indonesia.

Untuk mobil konvensional saja India setidaknya memerlukan lebih dari 10 tahun guna mengubah teknologi dan desain produknya agar dapat masuk ke pasar dunia kendati konsumen domestiknya tidak terlalu menuntut suatu perubahan radikal dari produk-produk dalam negerinya. Kabarnya masyarakat India lebih mengedepankan penghargaan terhadap produk dalam negerinya. Ini tentu sangat berbeda dengan masyarakat Indonesia yang sudah telanjur konsumtif dan cenderung memilih merek-merek berbau impor. Sebenarnya tidak sedikit produk nasional yang memiliki kualitas baik, tetapi terhadap produk-produk berteknologi tinggi, masih ada semacam sikap keraguan.

Saat ini sedang ditunjukkan seakan-akan masyarakat telah membuka mata untuk mengakui bahwa karya besar produk berteknologi tinggi ternyata bisa dihasilkan anak bangsa. Sungguhkah demikian? Bukankah selama ini tidak pernah ditunjukkan siapa yang berani mempertanggungjawabkan patennya. Padahal, sebuah teknologi baru yang akan dikembangkan dalam skala industri, sebaiknya dipatenkan lebih dulu sebab sulit dipercaya sebuah produk yang menggunakan teknologi lapuk akan mampu berkompetisi di era perdagangan global. Teknologi itu harus sudah teruji, bukan saja dari aspek kelaikan secara teknis, tetapi juga manfaat ekonomi dan kepercayaan publik.

Tentu akan sangat memilukan bagi bangsa ini jika setelah kampanye besar-besaran yang dilakukan pemerintah agar masyarakat bisa menerima produk anak bangsa tiba-tiba pada kenyataannya nanti yang beredar justru produk luar negeri, atau mungkin produk hasil kemitraan dengan konten lokal yang sangat minim.

Perlu Dana Besar

Ada kekhawatiran program pengembangan mobil listrik bisa-bisa kandas di tengah jalan, hanya karena korban politik perdagangan di era global. Bagaimana tidak, sebuah harapan yang menggebu-gebu akhirnya harus ditumbangkan oleh berbagai kendala yang mungkin sulit dipahami. Akan tetapi, dalam ketidakpastian menyangkut jaminan akan berbagai aspek mulai dari teknologi sampai pada sertifikasi, tidak akan ada industri yang berani berspekulasi untuk memproduksi secara massal. Kalaupun ada, semoga bukan kegiatan "dolanan". Setidaknya, diperlukan dana yang cukup besar untuk pengembangan hingga layak diproduksi massal. Karena itu, pemerintah dibutuhkan campur tangannya pada batas-batas yang memungkinkan, tetapi jangan terkesan justru seakan-akan lebih melindungi kepentingan negara industri maju.

Jika mobil listrik akhirnya diproduksi secara massal, paling tidak ada beberapa catatan yang perlu menjadi pertimbangan. Pertama, tidak boleh menggunakan suatu komponen tanpa lisensi yang desain ataupun patennya masih milik industri otomotif lain. Kedua, jika menggunakan komponen hasil inovasi sendiri, harus memastikan bahwa karya inovasi tersebut sudah dilindungi dalam sistem hak kekayaan intelektual di Indonesia maupun di negara-negara lain yang akan menjadi tujuan pasar. Ketiga, harga produk nasional harus murah, namun dijamin aspek keselamatan, kenyamanan, dan fungsinya. Keempat, produksi massalnya harus dikuasai sebuah perusahaan PMDN yang kuat. Kelima, pemasarannya harus dikuasai beberapa distributor yang berpihak pada kepentingan nasional.

Catatan tersebut setidaknya dapat mengawal keberlangsungan mobil listrik sebagai produk yang diminati masyarakat untuk jangka waktu tertentu hingga muncul sebuah kemungkinan lain yang bersifat politis. Bagaimanapun Indonesia pernah memiliki pengalaman pahit menyangkut kebijakan nasional di bidang teknologi dan industri. Tengok saja bagaimana nasib sebuah industri pesawat terbang sebesar PT Dirgantara Indonesia (dahulu bernama PT IPTN) dan proyek mobil nasional Maleo yang telah menjadi korban politik ekonomi dunia. Akankah situasi seperti itu berulang kembali di negeri ini? Semoga bukan sekadar dolanan. (Koran Jakarta, 4 Juli 2012)