Oleh :
Medy P. Sargo
Tidak
dapat dipungkiri hingga kini masih banyak masyarakat yang belum begitu familiar
dengan persoalan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau dalam bahasa internasional
resminya dikenal dengan Intellectual
Property Rights (IPR).
The World Intellectual Property Organization (WIPO) memberikan
definisi IPR sebagai berikut:
Intellectual property shall include the rights relating to: literary, artistic and scientific works, inventions in all field of human endeavor, scientific discoveries, industrial design. trademarks, service marks, and commercial names and designations, protection againts unfair competition, and all other rights resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields .
Intellectual property shall include the rights relating to: literary, artistic and scientific works, inventions in all field of human endeavor, scientific discoveries, industrial design. trademarks, service marks, and commercial names and designations, protection againts unfair competition, and all other rights resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields .
Kira-kira terjemahannya sebagai
berikut: Kekayaan intelektual adalah meliputi hak yang berkaitan dengan: karya
sastra, artistik dan ilmiah, penemuan di segala bidang yang dihasilkan oleh
manusia, penemuan-penemuan ilmiah, desain industri. merek dagang, merek
layanan, dan nama komersial dan sebutan, perlindungan persaingan tidak sehat,
dan semua hak-hak lain yang dihasilkan dari kegiatan intelektual dalam bidang
industri, ilmiah, sastra atau seni.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak
seimbang dan kemampuan penguasaan teknologi yang pincang di antara
negara-negara di dunia, mungkin merupakan salah satu penyebab terseok-seoknya
penerapan norma dan standar yang tercakup dalam sistem Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) di banyak negara berkembang.
Salah satu ketentuan yang
mengacu pada standar HKI adalah diharuskannya suatu karya intelektual di bidang
teknologi dimintakan perlindungan kepada negara sebelum diaplikasikan di industri
untuk kegiatan komersial.
Bagi negara-negara industri maju upaya
penyesuaian terhadap standar internasional bukanlah persoalan yang sarat
hambatan. Hal ini disebabkan umumnya negara-negara industri maju justru
merupakan penggagas dan perancang standar internasional tersebut, yang tentunya
sejak awal sudah prepare, dan bahkan sumbernya berangkat dari standar yang
sudah dimiliki dan diterapkan di negaranya. Meskipun kenyataannya pada
kasus-kasus khusus negara industri sendiri seringkali menerapkan standar ganda.
Bagaimanapun penerapan norma dan standar
baru dalam masyarakat bisnis di suatu negara yang secara sosial memiliki
perbedaan cukup tajam dengan masyarakat negara-negara industri maju, maka akan
melahirkan berbagai benturan yang dapat meningkatkan suhu perbedaan menjadi
semakin tinggi. Perbedaan ini menjadi lebih nampak ketika negara-negara
berkembang sulit melakukan alih teknologi (transfer of technology) dari
negara-negara industri maju. Terkesan ada upaya menghambat perkembangan
teknologi di negara-negara berkembang untuk tujuan menjadikan pasar abadi.
Negara-negara industri maju pun sepertinya
kurang bersabar menunggu terjadinya perubahan pandangan masyarakat di
negara-negara berkembang hingga berpihak pada kepentingan negara industri maju.
Manakala norma dan standar HKI yang diperkenalkan kepada masyarakat negara
berkembang masih memerlukan waktu untuk berproses secara akulturasi. Padahal
industri dan perdagangan di bidang kekayaan intelektual memerlukan ruang bebas
yang aman dan terjamin dari segala upaya tindakan pelangaran HKI.
Masih Adanya Perbedaan Persepsi
Dalam perjalanan penerapan sistem HKI yang
boleh dibilang masih terseok-seok ini, maka hal yang sangat meresahkan semua
pihak adalah masih maraknya pelanggaran atas hak kekayaan intelektual, terutama
di bidang hak cipta. Inilah persoalan yang tidak habis-habisnya diangkat dalam
perbincangan di level dunia. Meski tidak dapat dipungkiri aspek politik ekonomi
dalam setiap membedah persoalan pelanggaran ini tidak dapat disembunyikan
seketat apapun.
Sejauh ini kita dapat menyaksikan betapa
masih berkembangnya pandangan masyarakat yang anti pada upaya-upaya proteksi
terhadap karya intelektual bernilai ekonomi tinggi. Hal ini bisa jadi
disebabkan belum tercapainya persamaan persepsi menyikapi penerapan standar HKI
dalam sistem hukum kita.
Sementara kalangan masih banyak yang
memiliki persepsi bahwa penerapan HKI hanyalah sebuah eksploitasi "sikap
ketergantungan" suatu masyarakat komunal tertentu pada suatu masyarakat
yang menganut kuat hak-hak individualistis. Padahal masih banyak masyarakat
yang justru berorientasi pada upaya pemanfaatan hasil karya intelektual secara
bersama-sama, dengan mengesampingkan hak ekonomis (economic rights) sebagai
"mahkota".
Namun kenyataan lain justru telah
menempatkan masyarakat negara berkembang pada posisi strategis sebagai bagian
dari masyarakat dunia, yang justru mengagungkan hak-hak ekonomis dari setiap
karya intelektual yang dihasilkan.
Apakah perbedaan persepsi itu juga yang
menyebabkan rendahnya jumlah pendaftaran paten - salah satu rejim hak kekayaan
intelektual - milik orang Indonesia di dunia. Sebagaimana data yang dirilis
oleh WIPO, yang menunjukan angka rendah dibanding negara-negara Asia Tenggara
lainnya seperti Singapore dan Malaysia? Tabel di bawah menunjukkan paten
Indonesia belum mampu mengangkat posisi Indonesia setidaknya di Asia Tenggara.
Perbandingan Jumlah Permintaan Paten Antara Negara-Negara ASEAN dan
Jepang
|
|||||
NO
|
Country
|
International Patent
|
Domestic Patent
|
||
2009
|
2010
|
2009
|
2010
|
||
1
|
Indonesia
|
7
|
15
|
662
|
756
|
2
|
Malaysia
|
224
|
302
|
1.234
|
1.275
|
3
|
Philippine
|
21
|
15
|
668
|
746
|
4
|
Singapore
|
593
|
637
|
827
|
892
|
5
|
Thailand
|
20
|
69
|
-
|
-
|
6
|
Vietnam
|
6
|
7
|
-
|
-
|
7
|
Japan
|
29.827
|
32.156
|
-
|
-
|
Kalau kita bandingkan dengan Jepang yang
mencapai jumlah fantastis untuk pendaftaran paten internasional melalui PCT (Patent Cooperation Treaty) oleh warga
negaranya yakni mencapai 28.785 (2009) dan 29.827 (2010), maka jelas Indonesia
belum bisa berbicara di kancah internasional. (Dimuat di Detik.com, Senin,
21/02/2011 11:45 WIB)