Jumat, 20 Maret 2015

HKI dan Persoalan Persepsi



Oleh : Medy P. Sargo

       Tidak dapat dipungkiri hingga kini masih banyak masyarakat yang belum begitu familiar dengan persoalan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau dalam bahasa internasional resminya dikenal dengan Intellectual Property Rights (IPR).
        The World Intellectual Property Organization (WIPO) memberikan definisi IPR sebagai berikut:
Intellectual property shall include the rights relating to: literary, artistic and scientific works, inventions in all field of human endeavor, scientific discoveries, industrial design. trademarks, service marks, and commercial names and designations, protection againts unfair competition, and all other rights resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields .
     Kira-kira terjemahannya sebagai berikut: Kekayaan intelektual adalah meliputi hak yang berkaitan dengan: karya sastra, artistik dan ilmiah, penemuan di segala bidang yang dihasilkan oleh manusia, penemuan-penemuan ilmiah, desain industri. merek dagang, merek layanan, dan nama komersial dan sebutan, perlindungan persaingan tidak sehat, dan semua hak-hak lain yang dihasilkan dari kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmiah, sastra atau seni.
      Pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang dan kemampuan penguasaan teknologi yang pincang di antara negara-negara di dunia, mungkin merupakan salah satu penyebab terseok-seoknya penerapan norma dan standar yang tercakup dalam sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di banyak negara berkembang.
       Salah satu ketentuan yang mengacu pada standar HKI adalah diharuskannya suatu karya intelektual di bidang teknologi dimintakan perlindungan kepada negara sebelum diaplikasikan di industri untuk kegiatan komersial.
Bagi negara-negara industri maju upaya penyesuaian terhadap standar internasional bukanlah persoalan yang sarat hambatan. Hal ini disebabkan umumnya negara-negara industri maju justru merupakan penggagas dan perancang standar internasional tersebut, yang tentunya sejak awal sudah prepare, dan bahkan sumbernya berangkat dari standar yang sudah dimiliki dan diterapkan di negaranya. Meskipun kenyataannya pada kasus-kasus khusus negara industri sendiri seringkali menerapkan standar ganda.
Bagaimanapun penerapan norma dan standar baru dalam masyarakat bisnis di suatu negara yang secara sosial memiliki perbedaan cukup tajam dengan masyarakat negara-negara industri maju, maka akan melahirkan berbagai benturan yang dapat meningkatkan suhu perbedaan menjadi semakin tinggi. Perbedaan ini menjadi lebih nampak ketika negara-negara berkembang sulit melakukan alih teknologi (transfer of technology) dari negara-negara industri maju. Terkesan ada upaya menghambat perkembangan teknologi di negara-negara berkembang untuk tujuan menjadikan pasar abadi.
Negara-negara industri maju pun sepertinya kurang bersabar menunggu terjadinya perubahan pandangan masyarakat di negara-negara berkembang hingga berpihak pada kepentingan negara industri maju. Manakala norma dan standar HKI yang diperkenalkan kepada masyarakat negara berkembang masih memerlukan waktu untuk berproses secara akulturasi. Padahal industri dan perdagangan di bidang kekayaan intelektual memerlukan ruang bebas yang aman dan terjamin dari segala upaya tindakan pelangaran HKI.

Masih Adanya Perbedaan Persepsi
Dalam perjalanan penerapan sistem HKI yang boleh dibilang masih terseok-seok ini, maka hal yang sangat meresahkan semua pihak adalah masih maraknya pelanggaran atas hak kekayaan intelektual, terutama di bidang hak cipta. Inilah persoalan yang tidak habis-habisnya diangkat dalam perbincangan di level dunia. Meski tidak dapat dipungkiri aspek politik ekonomi dalam setiap membedah persoalan pelanggaran ini tidak dapat disembunyikan seketat apapun.
Sejauh ini kita dapat menyaksikan betapa masih berkembangnya pandangan masyarakat yang anti pada upaya-upaya proteksi terhadap karya intelektual bernilai ekonomi tinggi. Hal ini bisa jadi disebabkan belum tercapainya persamaan persepsi menyikapi penerapan standar HKI dalam sistem hukum kita.
Sementara kalangan masih banyak yang memiliki persepsi bahwa penerapan HKI hanyalah sebuah eksploitasi "sikap ketergantungan" suatu masyarakat komunal tertentu pada suatu masyarakat yang menganut kuat hak-hak individualistis. Padahal masih banyak masyarakat yang justru berorientasi pada upaya pemanfaatan hasil karya intelektual secara bersama-sama, dengan mengesampingkan hak ekonomis (economic rights) sebagai "mahkota".
Namun kenyataan lain justru telah menempatkan masyarakat negara berkembang pada posisi strategis sebagai bagian dari masyarakat dunia, yang justru mengagungkan hak-hak ekonomis dari setiap karya intelektual yang dihasilkan.
Apakah perbedaan persepsi itu juga yang menyebabkan rendahnya jumlah pendaftaran paten - salah satu rejim hak kekayaan intelektual - milik orang Indonesia di dunia. Sebagaimana data yang dirilis oleh WIPO, yang menunjukan angka rendah dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapore dan Malaysia? Tabel di bawah menunjukkan paten Indonesia belum mampu mengangkat posisi Indonesia setidaknya di Asia Tenggara.


Perbandingan Jumlah Permintaan Paten Antara Negara-Negara ASEAN dan Jepang
NO

Country
International Patent
Domestic Patent
2009
2010
2009
2010
1
Indonesia
7
15
662
756
2
Malaysia
224
302
1.234
1.275
3
Philippine
21
15
668
746
4
Singapore
593
637
827
892
5
Thailand
20
69
-
-
6
Vietnam
6
7
-
-
7
Japan
29.827
32.156
-
-
Diolah dari sumber WIPO, dan IP Office negara-negara terkait.
 
Kalau kita bandingkan dengan Jepang yang mencapai jumlah fantastis untuk pendaftaran paten internasional melalui PCT (Patent Cooperation Treaty) oleh warga negaranya yakni mencapai 28.785 (2009) dan 29.827 (2010), maka jelas Indonesia belum bisa berbicara di kancah internasional. (Dimuat di Detik.com, Senin, 21/02/2011 11:45 WIB)

Kamis, 19 Maret 2015

Menyelamatkan Paten Domestik

Print PDF Facebook Twitter Email

Medy P Sargo
Kepala Bidang Perguruan Tinggi & Lemlitbang, Asdep Kekayaan Intelektual & Standardisasi Iptek, Kemenristek

Tidak satu pun negara di dunia yang tidak memiliki kebergantungan pada teknologi tertentu dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonominya. Bahkan, seluruh aktivitas masyarakat zaman modern ini tidak luput dari penggunaan teknologi, tak terkecuali teknologi impor yang sudah dipatenkan.

Indonesia tentu masih tergolong negara yang bergantung cukup besar pada teknologi impor bidang manufaktur, pertambangan, informasi, maupun pertanian. Dibanding teknologi impor, tak banyak teknologi domestik yang cukup berkiprah dalam industri berbasis teknologi.

Beberapa lembaga penelitian dan pengembangan bidang iptek di Indonesia masih harus berjuang keras untuk bisa menggaet kalangan industri sebagai mitra, baik untuk pengembangan teknologi maupun penerapannya. Ratusan paten lembaga-lembaga penelitian maupun perguruan tinggi kurang diminati industri.

Teknologi hasil penelitian dan pengembangan beberapa lembaga litbang dan perguruan tinggi yang telah dilindungi patennya tidak sampai 10 persen yang digunakan industri. Banyak faktor yang memengaruhi. Salah satu yang penting disoroti sebagai akibat kelangkaan penggunaan paten-paten domestik oleh industri karena tidak ada iklim yang kondusif di dalam kegiatan penelitian dan pengembangan dengan berorientasi pada paten bernilai ekonomi tinggi.

Wajib Bayar

Pemegang paten wajib membayar biaya pemeliharaan tahunan selama masa perlindungan berlangsung. Lalai selama tiga tahun berturut-turut terhadap kewajiban tersebut dapat berakibat status perlindungan patennya gugur. Ketentuan demikian diatur pada Pasal 115 Ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Faktanya memang banyak penunggak biaya pemeliharaan sehingga patennya terancam gugur.

Ada sekitar 6.400 paten asing dan 1.600 domestik terancam gugur karena sudah tiga tahun berturut-turut tidak dibayar biaya pemeliharaannya di Indonesia. Akibatnya paten-paten itu akan menjadi milik umum (public domain).

Sebuah paten sejak dinyatakan gugur tidak lagi dapat dikuasai secara eksklusif oleh perseorangan maupun kelompok tertentu, melainkan menjadi public domain. Siapa pun kemudian berhak atas paten gugur tersebut untuk mendayagunakannya secara komersial sekalipun. Bahkan, tidak perlu menunggu penawaran atau penyerahan dari pihak tertentu, termasuk pemerintah.

Untuk paten-paten milik asing dalam kasus demikian, secara strategis menguntungkan masyarakat industri dalam negeri karena dengan demikian mereka dapat menggunakan paten-paten gugur tersebut secara bebas tanpa punya kewajiban mengikatkan diri pada pemiliknya di luar negeri.

Persoalannya menjadi agak berbeda dengan paten domestik yang status perlindungannya digugurkan karena alasan yang sama. Kendati secara strategis dapat menguntungkan masyarakat industri, sekaligus bisa berarti menimbulkan kelemahan pertahanan pasar Indonesia dari serbuan produk-produk impor yang menggunakan paten domestik yang kini menjadi milik umum tersebut. Paten-paten public domain pada akhirnya tidak punya daya tangkal.

Salah satu problem yang dihadapi Indonesia adalah kuatnya orientasi masyarakat pada produk-produk impor, sementara daya saing produk dalam negeri masih lemah dan umumnya belum dapat mengimbangi produk-produk impor.

Penyelamatan

Sejauh ini, paten mampu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, tidak saja dari pendapatan royalti lisensi paten, tetapi juga dari pajak yang ditimbulkannya. Terbukti penerimaan devisa terbesar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2011 ternyata dari royalti paten yang dilisensikan ke berbagai industri seluruh dunia. AS yang terbesar, disusul Jepang, Prancis, Jerman, dan Inggris.

Paten-paten milik asing yang gugur di Indonesia, meskipun memberi peluang pemanfaatan secara cuma-cuma oleh industri dalam negeri, namun jika produknya diekspor ke suatu negara di mana paten yang digunakan tersebut masih dilindungi, maka produk tersebut bisa jadi akan ditolak di negara itu.
Maka, industri pengguna paten public domain mesti punya akses dan kemampuan menelusuri paten (patent searching) hingga ke negara tujuan pasar. Hal itu untuk menghindari terjadinya penggunaan duplikasi paten milik pihak lain yang masih hidup perlindungannya.

Ada baiknya Indonesia meniru Thailand. Negeri Gajah Putih tersebut dalam sepuluh tahun ini menggemakan spirit patent war dalam menghadapi bombardir paten impor di era perdagangan global. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia menelorkan kebijakan membantu biaya pemeliharaan paten domestik lewat program insentif. Mereka benar-benar melindungi pengusaha dalam negeri. Indonesia juga perlu melakukan langkah-langkah sebagaimana kebijaksan diambil Bankok.

Misalnya, ketika suatu paten terancam status perlindungan hukumnya karena tidak dibayar biaya pemeliharaannya maka negara sebaiknya melanjutkan pembiayaan pemeliharaan tersebut agar tetap dapat dilindungi. Tentu ini harus diseleksi ketat.

Kebijakan demikian akan sangat membantu menyelamatkan paten domestik dari ancaman pengguguran status perlindungannya. Sebab dengan tetap terpeliharanya suatu paten tertentu kendatipun belum memberi manfaat ekonomi, dia dapat digunakan untuk menangkal produk impor yang masuk menggunakan paten tersebut.

Kasus serupa bisa dihadapi Indonesia di pasar luar negeri sebab gugurnya paten luar negeri di Indonesia karena biaya pemeliharaannya tiga tahun berturut-turut tidak dibayar, tidak serta-merta menggugurkan paten itu di negara lain. Pemerintah perlu membahas masalah ini dan mengambil langkah-langkah konkret. (Dimuat di Harian Koran Jakarta, 28 Agustus 2013)

Menanti Royalti Inventor

Print PDF Facebook Twitter Email

Medy P Sargo
Penulis adalah Kepala Bidang Perti & Lemlitbang - Kemenristek 

Dalam sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi banyak tokoh inventor (penemu teknologi baru) yang dikenal di tingkat dunia seperti Michael Faraday (1791–1867), penemu dinamo. Lalu, Thomas Alfa Edison (1847–1931) inventor lampu pijar. Banyak tentunya yang mendengar nama Albert Einstein (1879–1955), penemu teori relativitas bidang fisika.

Kehidupan mereka cukup mapan karena mendapat royalti (imbalan bagi hasil) dari kegiatan inovasi yang dilaksanakan industri pengguna paten. Jauh berbeda dengan kehidupan inventor Indonesia, khususnya yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) karena tidak dapat menikmati hak royalti, kendati dijamin undang-undang. 

Penemu PNS, walaupun bukan pemilik paten, undang-undang menjamin sebagai pemegang hak moral (moral rights) dan ekonomi (economic rights). Hak ekonomi tersebut cukup jelas dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 
Di situ disebutkan inventor berhak mendapat imbalan layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari temuan tersebut. Ketentuan tersebut tentunya berlaku secara umum untuk semua inventor, baik yang bekerja untuk lembaga pemerintah maupun swasta.

Hak tersebut bukan sekadar tuntutan meraih kesejahteraan sepadan. Lebih tepat dikatakan sebagai upaya mengukur keadilan bagi mereka yang telah bekerja keras, berkontribusi pada perekonomian negara. Manakala penghargaan itu sulit diraih, tidak mengherankan jika banyak inventor hengkang ke mancanegara mencari penghargaan. Bahkan, tidak sedikit anak-anak genius Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan dan berprestasi di luar negeri enggan pulang.

Seorang peneliti Indonesia yang bekerja di Malaysia mengatakan sebuah high project pengembangan pesawat nirawak, separuh penelitinya berasal dari Indonesia. Sementara itu, kabar terbaru diperoleh pada awal 2013 bahwa Perdana Menteri Malaysia mencanangkan kebijakan untuk menjadikan jiran ini sebagai pusat pengembangan industri bioteknologi. 

Kebijakan itu diikuti dengan upaya mempertahankan tenaga ahli yang sudah tinggal di Malaysia. Mereka juga akan meminang tenaga ahli dari berbagai negara. Bisa jadi, strategi Malaysia ini memiliki daya tarik kuat bagi para ahli biotek Indonesia.
 
Meski begitu, tidak dapat diyakini para inventor yang bekerja di luar negeri memperoleh royalti karena bukan warga negara setempat. Ada kecenderungan royalti dikuasai sepenuhnya pemberi kerja. Kompensasinya, mereka digaji jauh lebih tinggi dibanding penghasilan gaji di Indonesia. 

Di Jepang, warga setempat yang menjadi penemu dan bekerja di Riken akan menerima royalti sebesar 50 persen dari nilai penjualan. Royalti di Jepang tidak sama. Karena inventor yang bekerja di Tokyo Institute of Technology memperoleh royalti 30 persen. 

Situasinya tentu sangat berbeda dengan di Indonesia. Lembaga litbang dan perguruan tinggi negeri masih harus berjuang mendapat kelonggaran mengelola royalti dari kegiatan lisensi teknologi. Penerimaan royalti dari pengguna HKI tidak menghadapi kendala, karena umumnya sesuai dengan mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997. 

Namun, ketika lembaga litbang dan perguruan tinggi negeri selaku pemegang HKI harus mengeluarkan sebagian penerimaan royalti yang menjadi hak inventor, kewajiban itu tidak mudah dilaksanakan. Sebab pada dasarnya, dana yang diterima dari pengguna HKI bukan kekayaan pemegang HKI, tapi milik negara yang wajib disetor langsung ke kas negara.

Jika demikian, dipastikan tidak satu pun inventor PNS dapat menikmati royalti secara legal jika dikaitkan dengan ketentuan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kendati undang-undang paten menjamin hak royalti inventor, namun untuk PNS akan berkaitan dengan keuangan negara. Jadi, dalam pelaksanaannya diperlukan perangkat hukum yang sinkron dengan sistem keuangan negara, yang saat ini sedang dicoba untuk disesuaikan. 

Tapi, terobosan tersebut belum sampai kemungkinan mengubah atau merevisi Undang-Undang PNBP. Bagaimanapun, sumber royalti harus mengalir dari undang-undang tersebut. 

Undang-Undang PNBP secara tegas mengatur kewajiban lembaga pemerintah untuk segera menyetorkan seluruh PNBP ke kas negara. Bahwa ada pengaturan mengenai izin penggunaan kembali atas PNBP tersebut untuk tahun berikutnya, memang benar, tapi bukan untuk royalti inventor.

Dalam konteks pengeluaran royalti dari PNBP untuk inventor yang sulit saat mencari dasar hukumnya. Undang-Undang PNBP tidak memberi mandat penerapan sistem royalti inventor. Jika demikian, selagi Undang-Undang PNBP mau direvisi, perlu menyisipkan pasal tentang royalti inventor. (Dimuat di Harian Koran Jakarta, 20 Novembber 2013)

Nyanyian Pilu Kemitraan Riset

Print PDF Facebook Twitter Email

Medy P Sargo 
Penulis adalah Kabid Perti dan Lemlitbang – Asdep Kekayaan Intelektual dan Standardisasi Iptek, Kemenristek

Ketergantungan Indonesia pada teknologi impor tampaknya belum bisa disudahi meski tak mungkin lepas sepenuhnya. Namun, jika mampu mengembangkan kemandirian niscaya akan memberi harapan lebih besar untuk mencapai lompatan menuju bangsa dan negara bermartabat. Dan, untuk mencapai ke arah itu, tentu saja Indonesia akan selalu memerlukan kemitraan strategis dengan negara-negara maju.

Kemitraan strategis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja dalam wujud penerapan teknologi impor di sektor industri, melainkan juga perlu diupayakan melalui penguatan kolaborasi riset yang setara dengan melibatkan lembaga litbang dan perguruan tinggi dalam pengawasan ketat oleh pemerintah.

Pemerintah tak mungkin harus berdiam diri terhadap eksploitasi lembaga litbang dan perguruan tinggi oleh pihak asing dalam kemitraan riset. Kenyataan ini dapat dilihat dari kecenderungan klaim kepemilikan atas hak kekayaam intelektual (HKI) oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi tidak mencerminkan sebagai hasil kemitraan riset dengan pihak asing. Sementara jumlah permohonan izin penelitian oleh peneliti asing rata-rata mencapai 400 buah proposal dalam setahun. Faktanya, banyak hasil penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia, meski melalui kemitraan riset dengan lembaga litbang atau perguruan tinggi, kepemilikannya diklaim secara sepihak oleh pihak asing. Situasi demikian sudah berlangsung cukup lama, jauh sebelum peraturan tentang izin penelitian bagi orang asing dibuat.

Kemitraan Seimbang

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memerlukan kemitraan yang lebih erat dengan negara-negara industri maju di bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, kemitraan itu sendiri hendaknya tidak menggiring Indonesia pada posisi sekedar pendampingan saja. Melainkan, harus mampu menangkap posisi sebagai mitra utama yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian itu.

Suatu izin penelitian yang diberikan Kementerian Riset dan Teknologi kepada perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, serta orang asing, kadangkala tidak membuahkan hasil penelitian yang dapat diklaim sebagai milik bersama. Kondisi itu disebabkan oleh kekurangsiapan mitra penelitian dalam negeri, terutama tidak ditopang kesepakatan awal yang kuat dalam perjanjian risetnya. 

Padahal, setiap kegiatan penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia seyogianya dapat memberikan manfaat luas bagi pengembangan iptek itu sendiri. Bukan hanya sebatas pada manfaat finansial yang diperoleh dari biaya perizinan dan pengembangan. Karena itu, kegiatan penelitian harus selalu dalam kerangka kemitraan yang seimbang. 

Tak jarang, pendampingan kegiatan peneliti asing oleh tenaga ahli Indonesia lebih tampak berperan sebagai pemandu dan penerjemah bahasa. Sementara hal-hal yang bersifat substansial justru luput dari perhatian peneliti mitra pendamping. 

Tujuan utama dari pengaturan izin penelitian bagi orang asing itu sendiri sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2006 adalah untuk melindungi kepentingan Indonesia. Pertama, tidak boleh terjadi eksploitasi dan pencurian atas sampel yang bersumber dari kekayaan alam Indonesia, meliputi keanekaragaman hayati maupun non-hayati, artefak dan lain sebagainya. Kedua, tercapainya transfer of knowledge dari peneliti asing kepada peneliti Indonesia, bukan sebaliknya. Dan, ketiga, mencegah terjadinya penguasaan secara sepihak atas hasil penelitian yang dilakukan secara bersama-sama di Indonesia.

Perlu Diwaspadai

Dalam pergaulan internasional, keunggulan ekonomi negara-negara maju, yang meliputi pula bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh Majelis Umum PBB sebagaimana dituangkan dalam Resolusi 3281 (XXIX) tanggal 12 Desember 1974, mengenai Piagam Hak-hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara, diamanatkan untuk membantu mewujudkan hak negara-negara dunia ketiga dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Walaupun tujuan yang sebenarnya belakangan disadari sebagai bentuk lain dari upaya eksploitasi ekonomis atas negara-negara dunia ketiga. Hal tersebut ti-dak dapat dielakkan namun perlu diwaspadai. Adalah merupakan konsekuensi logis dalam hubungan internasional, dimana dimensi ekonomi merupakan alasan utama terwujudnya kemitraan.

Secara prinsip seyogianya tidak satu pun kegiatan penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia dapat dilaksanakan sendiri tanpa melibatkan lembaga penelitian terkait di dalam negeri. Bahkan, penting dikawal dengan suatu perjanjian riset yang kuat dalam melindungi kepentingan Indonesia. 

Sayangnya, di kalangan dunia penelitian masih terdapat pemahaman konservatif bahwa kontribusi dana pihak asing menjadi main determinants bagi kepemilikan hasil penelitian oleh pihak asing. Sudah barang tentu pemahaman tersebut harus diubah. Sebab, kemitraan riset yang seimbang adalah yang mampu memberikan peluang pemilikan hasil penelitian berdasarkan kontribusi para pihak secara proporsional, baik in-cash maupun in-kind. 

Cara-cara yang digunakan oleh peneliti asing merupakan bagian dari kegiatan mata-mata di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini yang kemudian dikenal sebagai bagian dari techno-nationalism, sikap makin tertutup negara-negara maju dalam mempublikasikan hasil-hasil teknologinya demi mempertahankan supremasi ilmiah. Sementara melalui berbagai cara persuasif justru melakukan pencurian ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara-negara berkembang. Sungguh sangat memilukan! (Dimuat di Harian Suara Karya, 21 November 2013)

Menuju Era Mobil Listrik

Print PDF Facebook Twitter Email

Medy P Sargo
Kementerian Riset dan Teknologi 

Harapan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono agar Indonesia dapat Mengembangkan mobil listrik direspons serius oleh menteri Riset dan Teknologi. Hal ini didorong oleh sikap antisipatif terhadap ancaman kelangkaan bahan bakar minyak Indonesia di masa depan, juga untuk mewujudkan kendaraan yang ramah lingkungan.

Harapan tersebut boleh jadi akan terwujud, sebab jajaran di Kementerian Riset dan Teknologi yang menaungi tujuh LPNK Ristek sudah bergerak serempak. Program ini memang tidak boleh bergerak lamban. Terbukti program pengembangan kendaraan berbasis listrik telah diluncurkan dengan melibatkan lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi.

Meskipun mobil listrik bukanlah sesuatu yang baru di dunia. Namun langkah yang ditempuh pemerintah tidak juga dapat dianggap terlambat. Sebab beberapa negara maju pun masih belum siap untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, apalagi untuk memenuhi pasar dunia. Pemerintah Amerika Serikat, misalnya, telah merancang program untuk mewujudkan satu juta kendaraan bertenaga listrik di jalanjalan AS pada 2015.

Indonesia pada 2014 diharapkan sudah siap dengan fondasi pengembangan secara terintegrasi dan mulai diproduksi tahun 2015. Sementara negara-negara berkembang lainnya, seperti Tiongkok, Brasil, Meksiko, dan Malaysia sudah mengantisipasi kelangkaan bahan bakar minyak sejak beberapa tahun lalu dengan mengembangkan mobil listrik.

Kegiatan Terintegrasi
Beberapa lembaga riset di Indonesia pun sebenarnya sudah mengembangkan mobil listrik sejak lebih kurang 10 tahun lalu. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan beberapa perguruan tingggi telah menghasilkan beberapa prototipe kendaraan berbasis listrik. Hanya sayang, upaya lembaga-lembata tersebut kurang mendapat dukungan anggaran yang memadai, sehingga penelitian pun tertatih-tatih.

Malaysia tahun ini menjadikan tahun listrik. Pada kuartal pertama, Mitsubishi Malaysia meluncurkan Mitsubishi-MIEV. Sementara beberapa negara maju umumnya menetapkan tujuan jangka menengah terkait program kendaraan listrik hingga diharapkan mampu memenuhi 20% dari seluruh armada kendaraan penumpang pada 2030, atau sekitar 30 juta kendaraan listrik .

Program yang dikembangkan Kementerian Riset dan Teknologi kali ini memperkuat aspek pengintegrasian kegiatan penelitian yang sudah dilakukan beberapa lembaga litbang dan perguruan tinggi. Ini akan menggerakkan efisiensi penggunaan anggaran yang sangat bagus. Diharapkan pemerintah dapat lebih melihat kebutuhan serta kemampuan unggulan masing-masing lembaga litbang dan perguruan tinggi. Kegiatan tumpang tindih yang gagal diintegrasikan sudah saatnya disudahi.

LIPI sejak 1997 hingga 2005 telah mengembangkan beberapa prototype mobil listrik yang diberi nama Marlip dengan menggunakan listrik DC Series. Bahkan tahun 2009 lembaga ini mengembangkan prototipe sedan hibrid. Sedangkan ITS mengembangkan mobil listrik yang diberi nama EC ITS yang bisa mencapai kecepatan 150 km/jam. Namun, masih diperlukan waktu yang cukup lama untuk charging baterai sekitar 9 jam. UGM juga meluncurkan mobil hibrid berkapasitas 4 sampai 8 penumpang.

Sementara BPPT sejak tahun 80-an mengembangkan energi baru dan terbarukan termasuk solar cell. Sudah barang tentu ini dapat menjadi bagian integral dari pengembangan mobil listrik ini. Bahkan selain punya pengalaman dalam pengembangan mobil konvensional yang hemat energi, BPPT juga sedang mengembangkan mobil pantograph, kendaraan massal bertenaga listrik yang tidak bergantung pada baterai melainkan menggunakan kawat listrik pada bagian atap mobil.

Padahal, sebelumnya ada kesan begitu kuatnya keegoan masing-masing lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Yang berkembang tidak lagi melakukan kegiatan berdasarkan kompetensinya, melainkan berdasarkan peminatan. Tak mengherankan jika kemudian anggaran kegiatan penelitian tidak pernah cukup. Jika saja soal pengintegrasian tidak ada jalan keluarnya, maka dikhawatirkan akan ada kegagalan pada pembangunan fondasi pengembagan mobil listrik di tahun 2014.

Namun kini berbagai langkah dan upaya mulai nampak, Pemerintah tidak ingin main-main dengan program pengembangan kendaraan listrik ini. Sebab ancaman kelangkaan BBM bukan merupakan persoalan enteng. Tingkat polusi pun menjadi persoalan serius. Itulah makanya pengembangan mobil listrik yang ramah lingkungan dan dapat diproduksi anak bangsa di dalam negeri menjadi salah satu kegiatan andalan bangsa ini ke depan.

Melibatkan UKM
Ada lima tahapan kunci dalam pembuatan mobil listrik. Empat di antaranya sudah dikuasai tenaga ahli Indonesia. Sementara satu tahapan lagi yang masih memerlukan upaya penguasaan teknologinya, yakni pengembangan baterai khusus berukuran kecil dengan densiti tinggi untuk menyuplai listrik penggerak motor. Produk yang sudah ada di pasar internasional harganya masih terbilang mahal, selain ukurannya yang tidak sesuai dengan desain yang dikembangkan Indonesia. Ini menjadi pekerjaan para peneliti dan perekayasa Indonesia untuk mengembangkan secara serius guna memenuhi kebutuhan model mobil listrik nasional.

Langkah pemerintah menentukan desain baru baterai dengan densiti tinggi tentu merupakan langkah berani dan patut didukung. Sebab jika ini tercapai maka ini akan memiliki keunikan yang tidak mudah ditembus produsen lain. Paling tidak Indonesia akan mampu menguasai pasar domestik. Kecuali, untuk tujuan ekspor, biasanya kita tidak dapat menghindari standar tertentu yang berlaku secara internasional.

Dalam mengantisipasi persaingan ketat di masa depan, tampaknya pemerintah perlu menggerakkan seluruh potensi yang ada. Selain melibatkan lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi yang sudah dilakukan, juga penting melibatkan sektor bisnis sebagai persiapan sejak dini. Ini perlu dilakukan mulai dari kegiatan sosialisasi kepada masyarakat hingga uji coba dan alih teknologi kepada usaha kecil dan menengah (UKM) secara meluas.

Keterlibatan UKM adalah penting untuk memenuhi kebutuhan komponen lokal dengan mengacu pada paten dan standar yang ditentukan secara terintegrasi. Dengan demikian program mobil listrik menjadi hajat masyarakat luas. Lantas yang tidak kalah penting adalah melibatkan sejak awal konsultan hukum profesional untuk pendampingan dalam aspek legal, mengingat suatu proyek penelitian dan pengembangan yang dipersiapkan untuk menopang kebutuhan pasar luas tidak akan pernah luput dari konflik kepemilikan intangible asset pihak-pihak terkait.

Dari semua itu, yang terpenting seluruh tahapan ini harus dapat berlangsung secara berkelanjutan meski terjadi pergantian rejim kekuasaan. Artinya, siapa pun yang berkuasa pasca 2014, program ini harus berlanjut. Program nasional ini harus secara bertanggungjawab dilanjutkan.

Jika tidak, maka tahapan hari ini hanyalah sia-sia. Kita sudah lelah dengan pengulangan program nasional yang selalu menemui jalan buntu. Kita harus sepaham bahwa program mobil listrik menyangkut persoalan masa depan bangsa ini. (Dimuat di Harian Investor Daily, 13 Desember 2013)