Sabtu, 30 Oktober 2010

TIMOR TIMUR, SANG NEGERI


Oleh : Medy P. Sargo

          Jajak pendapat di Timor Timur telah usai dan memberikan kemenangan mutlak bagi kelompok rakyat yang anti integrasi. Hanya 21% dari jumlah peserta jajak pendapat yang memilih opsi otonomi khusus, atau yang tetap berintegrasi dengan negara kesatuan Republik Indonesia.
            Ada kekhawatiran pihak pro integrasi tidak puas dengan kenyataan ini, oleh karena sebelum jajak pendapat dilaksanakan banyak ditemukan kecurangan-kecurangan yang dilakukan petugas UNAMET. Selain itu memang pada dasarnya diperkirakan pihak pro integrasi tidak begitu mudah dapat menghadapi kekalahan ini, mengingat ketidak yakinan akan jaminan keselamatan jiwanya ketika pihak anti integrasi mulai berkuasa nanti. Selain itu, bahkan merupakan alasan yang utama adalah bahwa deklarasi Balibo pada tahun 1976 sudah merupakan putusan final atas kesepakatan rakyat Tim-Tim untuk bergabung dengan Indonesia.
            Pada pergerakan pasca jajak pendapat ini, sulit diharapkan akan adanya keterlibatan besar pemerintah Indonesia seperti ketika perjuangan terdahulu yang mengantarkan pada proses penggabungan Timor Timur dengan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Sebab paling tidak pada pasca jajak pandapat ini, dunia internasional, terutama Amerika Serikat akan mengawasi perkembangan yang terjadi di Timor Timur dari detik ke detik untuk setiap jengkal tanah di Timor Timur. Berbeda dengan situasi pada tahun 1976, ketika proses integrasi, pada waktu itu Amerika mempunyai prioritas kepentingan yang berbeda, sehingga mendukung masuknya tentara Indonesia mempercepat proses integrasi tersebut. Kala itu kepentingan Amerika telah terwakili  oleh Indonesia ketika kebijaksanaan politiknya condong pada upaya konsentrasi kekuatan militer di Asia Tenggara guna membendung arus komunisme ke wilayah selatan (khususnya Australia dan New Zeland: sama-sama anggota pakta pertahanan ANZUS), terlebih lagi ketika peperangan di Indochina telah memupuskan harapan Amerika untuk melumpuhkan komunisme. Sementara Indonesia kemudian dijadikan gerbang pertama penghalau intervensi komunisme ke daratan Australia terutama dari wilayah Cina dan Uni Soviet.
             Sekarang setelah kekuatan komunisme dianggap telah melemah, bersamaan dengan kehancuran komunisme di Eropa, terutama di Uni Sovyet; terpuruknya perekonomian Vietnam pasca perang; dan berkurangnya dukungan negara-negara sahabat terhadap Cina, maka Amerika mengembangkan skenario yang lain, lebih berorientasi pada pengamanan kepentingan Amerika secara langsung di wilayah ini. Sementara ini ada dugaan bahwa Amerika akan menjadikan Timor Timur sebagai pangkalan militer menggantikan Filipina yang sudah lama ditinggalkan. Ini demi kelangsungan asset Amerika di Asia Tenggara.

Hidup Damai.
            Masyarakat Timor Timur yang pro integrasi agaknya perlu memikirkan tentang pilihan sikap yang tepat dalam memasuki era pasca jajak pendapat. apakah akan tetap berperang menghadapi kelompok anti integrasi dengan segala konsekuensi terburuk, atau mengambil sikap kompromize bergabung secara total dengan masyarakat anti integrasi untuk hidup damai membangun negerinya, tanpa harus berpikir perlunya membangun strategi perang gerilya melawan bangsanya sendiri. Setidak-tidaknya membuang harapan yang sulit dicapai, setelah menghadapi kenyataan adanya keraguan tentang seberapa jauh keseriusan Indonesia dapat menghargai serta memelihara kepercayaan rakyat Timor Timur untuk tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Juga seberapa besar arti dari keinginan masyarakat Timor Timur untuk tetap bergabung dengan Indonesia, yang mestinya dapat dipahami benar secara bebas oleh masyarakat Timor Timur itu sendiri.
            Sudah waktunya rakyat Timor Timur hidup tenang dan damai, memikirkan kesejahteraannya melalui upaya pembangunan secara bersama-sama tanpa konflik berdarah antar kepentingan.
            Para pengamat politik memberi kesan tentang kemampuan pemerintah Indonesia untuk memelihara kepercayaan rakyat Timor Timur yang telah terwujud sebelumnya sebagai kegagalan. Kegagalan ini rupanya lantas diindikasikan dengan munculnya pernyataan-pernyataan bernada protes dari berbagai kalangan atas kebijaksanaan pemerintah memberikan dua opsi kepada masyarakat Tim-Tim yang kemudian harus ditentukan dalam jajak pendapat.
            Bagi kalangan masyarakat Timor Timur yang pro integrasi dan kalangan pejuang yang telah mempertaruhkan jiwa raganya membantu mempercepat proses integrasi wilayah Timor-Timur ke dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1976, memandang kebijaksanaan pemerintah tersebut sebagai menyakiti perasaan.

Bantuan Indonesia.
            Berpisahnya Timor Timur dari Indonesia sepertinya sangat dinanti-nantikan oleh banyak negara, khususnya Australia, yang sejak lama selalu menggembar-gemborkan pembelaannya atas nasib rakyat Timor Timur.  Kampanye Australia terkesan sangat ambisius dan berbau hipokrit bila mengingat pada apa yang telah diperbuatnya terhadap penduduk asli (aborigin) di negerinya, dan jauh lebih buruk dari apa yang dilakukan Amerika. Bahkan Australia,  berani memberi iming-iming untuk menarik simpati rakyat Timor-Timur, dengan menyatakan siap menyediakan dana bantuan untuk membangun perekonomian Timor Timur apabila lepas dari Indonesia. Kampanye Australia ini berdimensi dagang, sama sekali tak mengubah citra Australia sebagai bangsa yang sangat kurang bisa bertetangga baik dengan bangsa-bangsa Asia.
            Indonesia sebenarnya bisa melakukan strategi yang sama, ketimbang mengembangkan argumentasi mencari pembenaran atas segala tindakan Indonesia di masa lalu, apalagi melalui pendekatan militer. Bukanlah hal yang janggal apabila Indonesia dapat tetap membantu pembangunan ekonomi di Timor-Timur. Setidak-tidaknya cara ini dapat mengimbangi kecongkakan Australia. Sekaligus menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berjiwa besar.
            Pengaruh Indonesia di Timor Timur akan dapat menyelematkan Timor-Timur dari eksploitasi habis-habisan oleh Australia dan Amerika. Bagaimana pun Timor Timur yang berdaulat akan merupakan negara tetangga terdekat Indonesia. Pengalaman Indonesia dalam menghadapi kecurangan-kecurangan negara lain mesti dapat diajarkan kepada rakyat Timor-Timur, sehingga negara kecil yang hanya bependuduk sekitar 500.000 jiwa ini dapat mempertahankan keberadaannya dari dominasi kepentingan asing atas suatu bangsa yang memiliki harga diri sejati sebagaimana selama ini diklaimnya.

Kerelaan Rakyat Indonesia.
            Bagi Amerika maupun Australia, keberadaan Timor Timur sebagai sebuah negara yang merdeka, bukanlah merupakan tujuan akhir, mengingat dari upaya-upaya diplomasi yang dilakukannya tendensius pada pemenangan kepentingan kedua negara tersebut. Alasan-alasan yang dikemukakan negara-negara ini selalu berkisar soal hak azasi manusia dan hak atas penentuan nasib sendiri. Tentu saja issue ini sangat menyentuh emosi rakyat Timor Timur. Kedua negara ini sampai saat ini tidak pernah tertarik mengemukakan alasan yang berlatar atas kualitas pembangunan fisik yang diselenggarakan pemerintah Indonesia di Timor Timur. Mereka tak menemukan alasan untuk mengangkat issue ini sebagai suatu kelemahan Indonesia, karena fakta menunjukkan bahwa wilayah ini sejak ditinggalkan penjajahnya, Portugal, telah diperbaiki secara berencana oleh pemerintah Indonesia dengan segala keterbatasan yang ada. Sementara seluruh lapisan masyarakat Indonesia di semua bagian wilayah mendukung serta merelakan sebagian haknya disumbangkan untuk memperbaiki taraf perekonomian masyarakat Timor Timur, sebagai saudara sekandung yang didudukkan sederajad, dan diberikan pendidikan yang sama.
            Mungkin saja kualitas perekonomian Timor-Timur sebagai suatu negara, akan berangsur-angsur lebih maju dari pada sebelumnya, tetapi apakah akan sepadan dengan harkat kebangsaan orang Timor-Timur yang bakal diletakkan di bawah kepentingan Amerika dan Australia. Mungkinkah terdapat persepsi yang sama mengenai soal ini antara rakyat Timor Timur pada umumnya dengan para pemimpinnya yang memang ambisius menjadi pemimpin negeri itu.  Kita hanya butuh waktu dalam 5 sampai 10 tahun saja untuk membuktikan kesangsian ini.
            Sekaligus kita akan mengetahui apakah seluruh rakyat Timor Timur akan sejalan dengan prinsip-prinsip yang dianut para pemimpinnya dalam mencapai tujuan kemerdekaannya. Yang jelas Timor Timur yang kuat mustahil dapat bertumpu pada kekuatan cita-cita kemerdekaannya belaka, kecuali ia merupakan bagian dari suatu wilayah negara kesatuan yang besar seperti Indonesia, atau terpaksa menjual ”diri” pada negeri seberang yang berseberangan dalam banyak hal sekalipun.


(Tulisan di atas telah dimuat di Harian Pelita, edisi Rabu, 8 September 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar