Sabtu, 06 November 2010

AUSTIMOR versus NASIONALISME


Oleh: Medy P. Sargo


            Austimor, kira-kira nama itu cocok untuk ditawarkan kepada Australia jika berkehendak mengambil Timor-Timur sebagai bagian baru dari wilayah benua Kanguru tersebut. Sama halnya ketika negara (pulau) Zanzibar baru merdeka dari Portugal sekitar tahun 70-an bersepakat dengan negara (daratan) Tanganyika di Afrika Timur untuk bergabung menjadi satu negara dengan nama yang sekarang dikenal sebagai Tanzania (gabungan dari Tanganyika dan Zanzibar).
            Nama Austimor (gabungan nama Australia dan Timor) barangkali akan mengubah citra buruk Australia di mata bangsa-bangsa Asia, khususnya Indonesia. Paling tidak keinginan bangsa Australia untuk diakui sebagai bagian dari Asia dapat tercapai ketika mengadopsi Timor-Timur sebagai bagian wilayahnya.
            Jika angan-angan ini tercapai, maka setelah itu Australia tinggal mengeruk habis-habisan kekayaan alam yang dimiliki Timor-Timur secara leluasa. Lantas setelah kepentingannya itu tercapai, maka dapat diperkirakan akan terjadi pengulangan kebijakannya seperti pada tahun 1973 terhadap Papua New Guinea. Australia akan membuat pagar pemisah budaya, sekedar menegaskan bahwa bangsa Australia tidak dapat dipersamakan derajatnya dengan bangsa-bangsa lain di Asia-Oceania. Namun demikian kepentingan bisnis Australia tidak boleh diakhiri di wilayah-wilayah yang didudukinya tersebut. Australia tetap Australia dengan perasaan superiornya, tetapi keuntungan negara lain harus tetap merupakan keuntungan Australia.
            Sekarang Indonesia telah memutuskan mengundang pasukan PBB untuk menangani penyelesesaian keamanan di Timor Timur. Kekhawatiran muncul, jangan-jangan pasukan yang datang adalah pasukan dari negara-negara sekutu Amerika seperti Australia, Inggris, Selandia Baru dan negara-negara Eropa lainnya yang membonceng bendera PBB. Jika itu terjadi maka merupakan kesempatan bagi Australia untuk mendekati Timor-Timur secara lebih leluasa.
            Masih ingat pernyataan seorang tokoh sentral dalam film Australia Crocodile Dundee  yang lebih kurang mengatakan “Siapa datang lebih dulu di suatu wilayah, maka dialah pemilik atas wilayah itu”.
            Ucapan itu sebagai rasionalisasi dari apa yang telah dilakukan nenek moyang bangsa Australia ketika Kapten James Cook dari Angkatan Laut Inggris datang untuk pertamakalinya pada tahun 1770 ke benua Kanguru, yang kemudian menyatakan bahwa wilayah bagian timur benua itu sebagai miliknya.
            Baru pada tahun 1788 satu armada laut yang terdiri dari 11 kapal bermuatan diantaranya 736 orang hukuman (narapidana) di bawah komando Kapten Arthur Philip tiba di benua Kanguru itu. Kemudian bercokol selamanya sambil tutup mata terhadap kenyataan di sekelilingnya bahwa telah ada sejak awal penduduk asli Aborigin yang pada hasil sensus tahun 1976 tinggal berjumlah 160.915 jiwa atau 1,2 prosen dari total pendudduk Australia.

Mewaspadai Amerika dan Australia.
            Keinginan keras Australia mempunyai pengaruh di Timor Timur ditunjukkan dengan berbagai upaya propaganda yang berkedok isu kemanusiaan, berkisar soal hak asasi manusia dan demokratisasi, Selebihnya mengumbar janji untuk menarik simpati orang-orang Timor Timur, dengan menyatakan kesiapan bantuan keuangan yang cukup besar bagi rakyat Timor Timur jika kelak lepas dari Indonesia.
            Propaganda Australia ini berdimensi dagang, sama sekali tak mengubah citra Australia sebagai bangsa yang sangat kurang bisa bertetangga baik dengan bangsa-bangsa Asia.
            Sedemiklian besarnya arti keberadaan Timor Timur lepas dari Indonesia bagi Australia. Apalagi setelah belakangan mengetahui adanya kandungan minyak yang cukup besar di celah Timor. Negara kanguru ini semakin tidak sabar ingin mengusik ketenangan rakyat Timor Timur. Sehingga negeri jiran itu nekad masuk ke dalam perangkap pertaruhan berhadapan dengan Indonesia yang berpenduduk lebih dari 10 kali jumlah penduduk negeri itu.
            Sekalipun jumlah penduduk bukan merupakan satu-satunya ukuran atas besar kecilnya sebuah negara, namun paling tidak Indonesia saat ini didukung oleh ratusan juta umat manusia dalam suasana kebathinan menentang sikap Australia yang sudah melakukan berbagai upaya pemboikotan terhadap kegiatan berbau Indonesia.

Amerika Cuci Tangan.
            Memang bukan tanpa alasan kalau Australia berani menghadapi ini, mengingat posisi Australia lebih mendapat dukungan internasional, terurama dari Amerika, Inggris dan Selandia Baru. Sampai hari ini isu mengenai hak asasi manusia selalu mendapat perhatian dunia. Siapa yang tampil sebagai pembela HAM, maka dianggap sebagai pahlawan dunia. Kendati harus diyakini Australia tidak akan serta merta berani mengambil resiko kalau tidak ada jaminan atas dukungan Amerika.
            Boleh jadi Australia sedang memerankan kepentingan Amerika. Kedua negara ini sangat punya kepentingan ekonomi mau pun politik di Timor Timur. Amerika tidak akan cepat-cepat memerankan kepentingannya secara langsung, seperti juga ketika mendukung Indonesia untuk mempercepat proses integrasi Timor Timur ke dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1976.
            Amerika memang selalu cuci tangan. Betapa tidak, perasaan dosa di masa lalu terhadap rakyat Timor Timur telah membuat malu untuk saling memandang mata dengan Indonesia. Tetapi jika Amerika ternyata berani saling pandang, artinya memang tak punya malu. Oleh karena itu, paling tidak untuk sementara waktu Amerika akan meminjam tangan Australia dan negara-negara sekutu lainnya.
            Tanpa melupakan jasa-jasa Amerika atau Australia yang pernah membantu perjuangan RI di forum-forum diplomasi internasional ketika mempertahankan kedaulatan penuh dari rongrongan Belanda, Indonesia sepertinya mulai saat ini harus mewaspadai kecenderungan kedua negara ini yang memandang dunia Islam sebagai ancaman baru setelah kekuatan komunisme dianggap memudar.
            Apalagi Indonesia merupakan negara berpenduduk beragama Islam terbesar di dunia. Lalu serta merta opini dunia dibentuk dengan fitnah bahwa seolah-olah terjadi upaya penghapusan etnis tertentu di Timor Timur yang mayoritas penduduknya beragama Katolik.
            Anehnya apa yang terjadi di Aceh tidak pernah dicampurinya secara terbuka. Ini sangat menunjukkan adanya kepentingan tertentu dari negara-negara tersebut. Jadi teringat pada filsafat Asmaraman (Kho Ping Ho) bahwa tiada pemberian yang tanpa pamrih.
            Sekalipun ketika kita menyatakan cinta tanah air, artinya kita membutuhkan timbal balik dari tanah air tersebut. Paling tidak sebuah tempat berpijak. Sehingga sebuah perhatian Australia terhadap Timor-Timur pastilah mempunyai tujuan yang sangat beralasan bagi keuntungan Australia sendiri.
Jika hal itu faktanya maka sebenarnya syah-syah saja, tetapi jangan dilupakan segala konsekuensinya. Australia harus berani menanggung segala akibat yang muncul, seperti ketika Indonesia menerima Timor Timur menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Tak sedikit negara yang cemburu, termasuk Australia.
            Tidak kurang dari separuh negara-negara di dunia bersikap menolak terhadap pengakuan Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Amerika yang selalu bersikap abstain pada waktu itu, memang menyadari adanya kepentingan yang perlu mengandalkan Indonesia. Sementara Australia yang mulai mengetahui adanya cadangan minyak yang cukup besar di celah Timor, tangannya mulai gatal.
            Sekarang pun nampak tidak sabar ingin terjun langsung ke Timor-Timur atas desakan rakyatnya yang berdemo besar-besaran, sementara lampu hijau dari Amerika belum juga menyala, sebagai isyarat masih berhati-hatinya pihak Amerika menanggapi persoalan Timor Timur ini.
            Diperkirakan Amerika akan mendukung masuknya Australia sebagai anggota pasukan perdamaian PBB di Timor Timur, jika ini terjadi maka Amerika sengaja ingin memancing konflik antara Indonesia dan Australia, dan akan mengambil keuntungan dari situasi tersebut.

Nasionalisme Sedang Diuji.
            Cara memenangkan perang dingin memang bisa dengan banyak akal yang dilakukan negara asing, namun sayangnya kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri sendiri pun ikut terpengaruh oleh hasutan negara-negara asing. Sepertinya bangsa Indonesia saat ini sedang diuji kualitas nasionalismenya. Bukan tidak mungkin orang-orang Amerika atau Australia sangat mengenal kualitas  nasionalisme orang-orang Indonesia ini.
            Memang suatu kebetulan Indonesia sedang dihadapkan pada situasi yang bergelora menghadapi sidang umum MPR. Tiba-tiba persoalan Timor Timur menghangat dan melahirkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat luas.
            Kalangan tertentu terkadang terlalu bersemangat memperjuangkan kepentingannya. Hingga lupa bahwa saat ini Indonesia sedang menghadapi rongrongan negara asing. Memang bukan merupakan kekeliruan apabila setiap warga negara memberikan koreksi pada negeri ini, namun paling tidak mestinya tidak terlalu berlebihan.
            Sayangnya koreksi yang berkembang tidak dibingkai dengan sikap arif, terutama di kalangan elit politik, yang serta merta mengkaitkan situasi ini dengan target keuntungan politik tertentu.
            Sekarang ini banyak sekali kelompok yang berdemo atas nama keadilan, namun kurang memikirkan aspek keadilan bagi posisi negerinya sendiri di mata internasional. Terkesan masyarakat Indonesia saat ini sedang menggelar sandiwara panjang dengan tema berseri, dari soal tuntutan kenaikan tarif angkutan hingga soal pelecehan Australia terhadap Indonesia.
            Yang menjadi persoalan dewasa ini adalah bahwa pertarungan argumentasi sudah mengarah kepada kecaman-kecaman layaknya terhadap musuh negara, disertai pernyataan ancaman yang bernuansa disintegrasi. Begitu banyaknya hingga tak bermakna.
            Bahkan begitu kerasnya kecaman itu hingga lupa bahwa di seberang lautan bangsa lain sedang menghina dina bangsa ini. Apakah ini bisa dijadikan sebagai parameter dari tingkat kerapuhan nasionalisme bangsa Indonesia ? Wallahualam.
            Alangkah indahnya ketika tidak mampu melihat suatu persoalan dari sisi yang menguntungkan Indonesia, kemudian mencoba untuk melihatnya dari dua sisi yang berimbang, dan dengan memperhatikan sendi-sendi kebangsaan.
            Apa yang ditulis Ernest Renan mengenai faham kebangsaan dalam bukunya berjudul Qu’est ce qu’une nation sebagaimana diterjemahkan Prof. Mr. Sunario bahwa pertama-tama kita harus mengetahui hakikat  “bangsa” (nation).     Pemahaman tentang hakikat bangsa ini sangat penting, terutama untuk menjaga dan tetap melestarikan keutuhan, persatuan, dan kesatuan bangsa kita, berdasarkan konsep dan misi para pendiri dan pembentuk (founding fathers) bangsa Indonesia.
            Bagaimana pun persoalan-persoalan di dalam negeri yang sedang kita hadapi mesti tidak melunturkan rasa kebangsaan kita, terutama dalam menghadapi keculasan Australia (baca: Austimor),  yang nampaknya akan sulit dilupakan oleh setiap generasi bangsa Indonesia. Tetapi mungkin hanya ada satu cara untuk melupakan ini, yaitu jangan sekali-kali memikirkan  kemungkinannya.

(Tulisan di atas telah dimuat di Harian Pelita, edisi Jumat, 17 September 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar