Minggu, 10 Oktober 2010

PATEN INDONESIA : SEBUAH IMPIAN

Oleh : Medy P. Sargo


          Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang merupakan terjemahan dari Intellectual Property Rights, agaknya masih kurang dikenal oleh masyarakat umum di Indonesia. Sementara ada yang lebih suka menyebutnya sebagai Hak Milik Intelektual, atau Kekayaan Intelektual.
          Terlepas dari semua peristilahan tersebut, ternyata istilah ini sangat berkaitan erat dengan sebuah ide yang terlahir dari kemampuan intelektual seseorang. Apakah itu merupakan ide yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah karya seni, ilmu pengetahuan maupun teknologi, semua berawal dari sebuah ide manusia, yang secara terus menerus berkembang, melahirkan inovasi-inovasi baru, dan secara terus menerus pula digunakan oleh manusia dalam kontek pensejahteraan umat secara universal.
          Khususnya di bidang teknologi, maka fakta yang dewasa ini kita hadapi adalah pergaulan dengan produk-produk teknologi, mulai dari teknologi sederhana sampai kepada teknologi maju. Baik itu merupakan teknologi yang telah berumur ratusan tahun, seperti mesin kendaraan bermotor misalnya, maupun teknologi yang baru berumur puluhan tahun, seperti perangkat komputer. Di depan generasi kita mungkin masih akan muncul jenis-jenis teknologi baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya.          Hal yang menarik dalam kaitan ini adalah siapa yang akan muncul sebagai penemu jenis-jenis teknologi baru itu. Apakah orang-orang Eropa, Amerika, Jepang, Cina, India, atau mungkin orang Indonesia. Siapa tahu.
          Inggris dan Amerika pada awalnya merupakan bangsa yang paling kaya dengan penemuan-penemuan orisinalnya di bidang teknologi. Sementara Jepang merupakan bangsa yang paling tekun melakukan modifikasi pengembangan teknologi dari Amerika dan Inggris. Beberapa produk teknologi Jepang seperti Xerox, Minolta dan Toshiba adalah contoh nyata dari penggunaan teknologi milik Amerika.

Situasi Paten.
          Soal siapa yang mendahului memiliki ide-ide bagi pengembangan suatu teknologi tertentu, maka sebenarnya telah berumur lebih dari seperempat abad adanya pemberian perlindungan hukum terhadap pemilik ide tersebut - dalam arti suatu ide yang telah dikembangkan menjadi suatu karya cipta ilmiah - yang kemudian dikenal dengan istilah Hak atas Kekayaan Intelektual.
          Untuk penemuan di bidang teknologi, maka bentuk perlindungan hukumnya di sebut Paten. Sedangkan Hak Cipta adalah bentuk perlindungan hukum atas karya cipta di bidang sastra, seni dan ilmu pengetahuan. Demikian pula terhadap Merek Dagang, Desain Produk Industri, Integrated Circuits, dan variasi HaKI lainnya, diberikan perlindungan hukum yang diatur dengan undang-undang.
          Paten memang masih merupakan hal relatif baru bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat industri khususnya. Sekalipun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual telah diterbitkan sejak tahun 1982, diawali dengan Undang-Undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (jo. UU Nomor 12 tahun 1997); Undang-Undang No.6 Tahun 1989 tentang Paten (jo. UU Nomor 13 tahun 1997) dan UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek (jo.UU Nomor 14 tahun 1997). Namun sosialisasi perangkat peraturan perundang-undangan tersebut masih kurang menjangkau kalangan yang sangat berkaitan dengan dunia kepenelitian dan industri.
          Kondisi ini menempatkan bangsa Indonesia pada posisi memilukan dalam hal tingkat pemahaman terhadap pentingnya aspek perlindungan paten bila dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang yang telah mengawali sejak tahun 1885.
          Namun kenyataan yang demikian ini juga setidaknya dipengaruhi oleh adanya kepentingan internasional terhadap negara-negara berkembang yang menghendaki diadopsinya norma-norma menurut ukuran negara maju, yang lebih didominasi negara-negara barat. Pada forum-forum internasional bermacam indikator kelemahan negara-negara berkembang kerapkali diangkat ke permukaan untuk memberikan penilaian plus-minusnya suatu negara dalam pengelolaan HaKI, khususnya dalam aspek law enforcement. Indonesia merupakan salah satu negara yang terpojok dalam hal ini.
         Tahun 1997 Indonesia telah meratifikasi lima perjanjian internasional yang berkaitan dengan kekayaan intelektual, antara lain :
1.  Paris Convention for the Protection Industrial Property, and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (WIPO);
2.  Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT;
3.  Trademarks Law Treaty (TLT);
4.  Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works;  dan
5.  WIPO Copyrights Treaty.
          Keputusan Indonesia untuk bergabung dalam perjanjian internasional tersebut nampaknya belum cukup menolong bagi “kesehatan” sistem proteksi atas kekayaan intelektual milik bangsa Indonesia sendiri. Ada pendapat bahwa ketentuan internasional seperti yang tertuang dalam konvensi internasional TRIPs (Trade Related to Intellectual Property rights) yang juga telah ditandatangani Indonesia, lebih banyak menguntungkan kepentingan negara-negara maju. Namun sebagai negara berkembang yang masih banyak menggantungkan industrinya pada hasil-hasil penelitian negara maju, nampaknya Indonesia tidak punya pilihan lain.
          Sejauh ini pengenalan segala lapisan masyarakat terhadap sistem paten atau pemahaman akan pentingnya perlindungan paten sangat rendah. Namun hal ini pun dipengaruhi oleh ketidaksiapan institusi-institusi yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem paten, seperti lembaga riset baik pemerintah maupun swasta, perguruan tinggi, dan bahkan Kantor Paten sendiri.
          Kurang giatnya penyelenggaraan sosialisasi sistem HaKI secara meluas, mulai dari lembaga riset/perguruan tinggi hingga industri kecil di pedesaan telah memberikan gambaran yang menyedihkan, betapa bangsa kita kurang mementingkan aspek perlindungan atas hasil-hasil risetnya.
          Dunia kepenelitian yang diselenggarakan di lembaga-lembaga penelitian, seperti universitas, litbang pemerintah dan Divisi R & D milik swasta, belum berorientasi kepada paten. Situasi ini sangat berbeda dengan di Jepang, misalnya. Dari catatan Noriyoshi Kikuchi - Deputi Direkur  Kebijaksanaan Industri -MITI pada makalah ceramahnya berjudul The Law for Promoting University: Industry Technology Transfer ( 6 Oktober 1998), menyebutkan bahwa jumlah peneliti di universitas-universitas negeri itu sekitar 240.000 orang. Jumlah ini sepertiga dari jumlah peneliti secara keseluruhan di Jepang yaitu 670.000 orang pada tahun1994.
          Dari jumlah tersebut diatas hanya menghasilkan 129 permintaan paten, atau 0,04% dari total paten domestik. Keadaan ini dianggap tidak cukup baik, sehingga pemerintah Jepang mendukung diadakannya suatu lembaga yang dapat membantu meningkatkan kegiatan penelitian dan pengelolaan hasil-hasil penelitian di universitas. Dibentuklah TLO’ (Technology Licensing Organization) yang menangani pengelolaan sejak dari pemrosesan permintaan paten, pemasarannya, hingga penanganan kontrak-kontrak lisensi dengan pihak ketiga.

Orientasi paten.
          Terlalu sedikit untuk menyebutkan angka yang berkaitan dengan jumlah peneliti dan hasil-hasil penelitian di Indonesia. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan jumlah paten yang telah dihasilkan peneliti yang bekerja di berbagai institusi penelitian. Jangan coba-coba membandingkan dengan negara-negara Asean, seperti Thailand, Malaysia, Filipina dan Singapore, kalau kita tidak ingin dibuat malu. Yang pasti dewasa ini Indonesia sedang menelusuri sebuah lorong menuju pemberlakuan diskriminasi internasional pada Januari 2000 apabila tidak mampu meningkatkan jumlah permintaan paten domestik.
          Pada tahun 1994, satu tahun sebelum TRIP’s di canangkan, jumlah permntaan paten domestik hanya sekitar 3,15% dari 2.383 buah jumlah total permintaan paten (domestik dan asing). Jika dalam waktu lima tahun setelah pemberlakuan TRIP’s, Indonesia tidak mampu mengubah jumlah tersebut mencapai sekurang-kurangnya 10%, maka produk-produk perdagangan Indonesia akan dicurigai sebagai hasil pelanggaran HaKI.
          Akibat terburuknya adalah penolakan masuknya atas barang-barang produk Indonesia ke suatu negara tertentu di Eropa atau Amerika. Belum lagi ada kemungkinan kita harus membayar royalti kepada suatu negara yang telah mengklaim patennya atas jenis produk tertentu yang masuk dari Indonesia.
          Satu-satunya yang dapat menolong situasi ini adalah digiatkannya gerakan terpadu terhadap kegiatan penelitian yang berorientasi paten, kebijaksanaan industri yang berorientasi paten, sistem pangajaran di sekolah-sekolah kejuruan teknik dan fakultas teknik yang berorientasi paten, dan sistem penyelenggaraan pengelolaan paten - sejak dari pendaftaran hingga penegakan hukum - yang benar-benar berorientasi pada kepentingan paten.

Penelusuran Informasi Paten.
          Penelusuran (searching) informasi paten merupakan bagian terpenting dalam upaya peningkatan paten suatu negara. The Japanese Patent Office (JPO) sejak Maret 1999 telah menyediakan sarana komputer yang terakses ke internet untuk digunakan kalangan umum tanpa bayar (free of charge) bagi keperluan searching. Pungutan dikenakan hanya apabila memerlukan hard copynya.
          Selain itu, sebuah perpustakaan milik pemerintah, IPDL (Industrial Property Digital Library) memungkinkan bagi kalangan umum (individual, kalangan industri, universitas, dan lembaga riset) untuk memanfaatkannya, melakukan akses ke seluruh official gazette store di JPO, yang memiliki 40 juta dokumen IP sejak tahun 1885.
          Kemajuan dalam sistem searching sebagaimana yang telah diterapkan di Jepang sangat membantu peneliti dalam mencari data tentang paten-paten yang telah ada, sehingga sejak awal dapat dihindari adanya duplikasi penemuan atau klaim atas paten. Dari sisi hukum memandang kemajuan ini sebagai dukungan besar terhadap upaya penegakan hukum, oleh karena setidak-tidaknya sejak awal setiap orang sudah diarahkan kepada upaya penghindaran terjadinya duplikasi penelitian. Karena selain dapat menghindari terjadinya pemborosan dana, juga akan mengurangi terjadinya perselisihan.
          Nampak ada unsur pembudayaan terhadap sikap menghindari duplikasi penellitian. Apakah hal ini dapat ditiru oleh Indonesia ? Sungguh merupakan pilihan yang baik, kalau saja Pemerintah menempatkan persoalan ini pada prioritas penting dengan dukungan dana memadai tentunya. Bagaimanapun hal ini akan tetap merupakan impian bagi kita semua, dan memberikan makna pada sebuah slogan kebangkitan teknologi nasional. Semoga demikian.

(Tulisan di atas telah dimuat di Harian Republika, edisi Kamis, 26 Agustus 1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar