Selasa, 19 Oktober 2010

HAKI DAN TANTANGAN DI ERA GLOBAL

Oleh: Medy P. Sargo

Hak Kekayaan Intelektual atau lebih dikenal dengan akronim HaKI telah mencapai usia 21 tahun diperkenalkan kepada masyarakat jika dihitung sejak diundangkan pertamakalinya undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Walaupun sebenarnya pengaturan tentang Hak Cipta sudah diatur dalam Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912.
Namun penting dicatat bahwa pengenalan masyarakat terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) belum dapat dianggap telah mencapai pada tingkat pemahaman yang memberi pengaruh kuat terhadap pembentukan budaya hukum dalam konteks harmonisasi antara norma-norma baru (norma yang diperkenalkan negara-negara industri) dengan norma yang sudah hidup dalam sanubari masyarakat Indonesia. Kendati secara substansial hak kekayaan intelektual dari waktu ke waktu semakin dilengkapi dengan beberapa instrumen hukum selain di bidang hak cipta yang sudah lebih dulu ada, disusul kemudian dengan undang-undang di bidang Paten (patent), Merek (trade mark), Perlindungan Varietas Tanaman (new plant varieties protection), Rahasia Dagang (trade secrets / undisclosed informations),  Desain Industri (industrial design), dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (lay out design of integrated circuits). Di Inggris bahkan Unfair Competition dimasukkan sebagai rejim HaKI.
Dalam perkembangannya beberapa perundang-undangan HaKI yang sudah dimiliki Indonesia sempat mengalami beberapa perubahan disesuaikan dengan norma dan standar baru internasional dalam kerangka TRIP’s (General Agreement on Trade Related aspect of Intellectual Property Rights),

Kepentingan Negara Industri
            Dalam memasuki era perdagangan bebas HaKI menjadi isu penting, terutama ketika negara-negara industri memandang bahwa jaminan perlindungan terhadap produk-produk industri di negara-negara tujuan pasarnya merupakan prasyarat bagi terjalinnya hubungan perdagangan multilateral yang harmonis. Keraguan negara-negara industri terhadap negara-negara berkembang khususnya dalam persoalan penegakan hukum menunjukkan eskalasi yang mengantarkan pada gagasan pentingnya memasukkan HaKI ke dalam masalah perdagangan melalui General Agreement on Trade
and Tariff (GATT). Hal ini  disebabkan  banyaknya  dijumpai  kasus  pemalsuan  maupun  pencurian
karya  intelektual yang merupakan kekayaan industri (industrial property). Walaupun faktanya di negara-negara industri itu sendiri pun banyak dijumpai tindak pelanggaran HaKI yang cukup serius.
Di Jepang misalnya, berdasarkan hasil penelitian MITI (Ministry of International Trade and Industry) dan JPO (Japan Patent Office) dijumpai kasus pelanggaran HAKI  khususnya di bidang copyrights, sebanyak 384 kasus yang dilakukan oleh 138 orang pada tahun 1993. Sedangkan empat tahun kemudian, yaitu pada tahun 1997 justru meningkat jumlahnya mencapai 433 kasus yang dilakukan oleh 171 orang.  Sementara di Indonesia masih sedikit kasus pelanggaran HaKI yang berhasil diangkat ke meja hijau.  Ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum.
Dalam upaya melindungi kepentingannya di pasar global, terutama ketika menyangkut penyelesaian perselisihan perdagangan HaKI,  kelompok negara-negara industri rupanya lebih menghendaki HaKI diatur melalui GATT-WTO ketimbang dalam kerangka WIPO (World Intellectual Property Organization). Hal ini disebabkan mekanisme penyelesaian perselisihan masalah HaKI melalui Mahkamah Internasional yang dianut dalam kerangka WIPO dianggap tidak efektif jika dibandingkan dengan mekanisme penyelesaian melalui GATT, yang memungkinkan bagi negara-negara industri untuk menerapkan sistem pembalasan (retaliation) dan pembalasan silang (cross retaliation), yaitu berupa sanksi-sanksi perdagangan yang dikenakan terhadap barang-barang ekspor negara yang melakukan pelanggaran dalam kerangka TRIP’s (General agreement on Trade Related Aspecs of Intellectual Property Rights).  Hal yang tak munghkin dapat diterima dalam forum WIPO dimana anggotanya didominasi negara-negara berkembang.
Mekanisme penyelesaian ini pada kenyataannya tidak memberikan keuntungan kepada negara-negara berkembang yang pada umumnya tidak memiliki posisi tawar kuat dalam hubungan perdagangan global. Selain itu mengingat sejauh ini belum ada batasan yang jelas antara  kriteria pelanggaran HaKI dan standar-standar di luar HaKI yang digunakan negara-negara industri. Indonesia pernah mengalami pembalasan silang yang dilakukan Amerika, melalui pembatasan quota ekspor tekstil ke negeri itu, hanya karena Menteri Penerangan Harmoko pada waktu itu menghimbau bioskop-bioskop twenty one untuk mengurangi dominasi pemutaran film-film Amerika, dan membantu peredaran film nasional di dalam negeri.  Dalam banyak kasus  menyangkut  perdagangan yang berkaitan dengan HaKI, posisi kita memang tidak lebih kuat dari negara-negara industri.
Itulah sebabnya mengapa penegakan hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HaKI  menjadi  perhatian  besar  negara-negara  industri.  Tentu  saja  karena HaKI  sudah menjadi masalah terkait kuat dengan industri dan perdagangan. Itu pula sebabnya kenapa negara-negara industri tidak memiliki keinginan serius untuk bersikap terbuka bagi terjadinya proses alih teknologi ke negara-negara berkembang yang menjadi mitranya. Kepentingan mempertahankan dominasi pasar di negara berkembang bagi produk-produk berteknologi maju, sudah barangtentu merupakan alasan strategis negara-negara industri.  Bagaimana pun Indonesia dengan jumlah penduduk ke empat terbesar di dunia adalah pasar potensial bagi produk-produk negara industri maju. Berbeda dengan India, sekalipun jumlah penduduknya mencapai 1 milyar lebih, tetapi kecintaan masyarakatnya terhadap produk-produk lokal mampu menjadi perisai dari serbuan dominasi produk luar negeri.

Penguasaan Teknologi

Tantangan di era global bila tidak disiasati secara taktis boleh jadi akan mendesak Indonesia pada posisi jauh kurang menguntungkan dalam pergaulan internasional, terutama dalam  hubungan perdagangan multilateral. Salah satu penyebab utama lemahnya peran Indonesia dalam pergaulan internasional adalah kurang kuatnya pemasukan devisa dari sektor industri yang bersandar pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara mandiri. Harus diakui bahwa perkembangan iptek Indonesia pada saat ini belum secara signifikan dapat mengangkat Indonesia pada pergaulan luas di tingkat internasional.
Almarhum Prof. Parangtopo, ahli fisika Universitas Indonesia mengatakan seperti yang ditulisnya dalam salah satu media cetak ibu kota (1988), bahwa kemampuan suatu negara dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menentukan bagaimana negara tersebut dapat berperan aktif dalam perkembangan dunia. Hanya negara yang ipteknya telah maju saat ini bisa mengambil peran dalam pergaulan internasional, baik dalam bidang politik, ekonomi, strategi, pertahanan keamanan maupun budaya. 
Sebagai contoh, Inggris melalui revolusi industri pertamanya pada pertengahan abad ke-18 hingga dilanjutkan revolusi industri kedua pada awal abad ke-19, dengan  keunggulan ipteknya mampu mempengaruhi negara-negara Eropa. Bahkan  Jepang  sebagai   negara  yang  berada  jauh  di belahan timur terilhami melalui restorasi Meiji-nya antara tahun  1868-1912 mengubah  negerinya  
menjadi negara industri yang berorientasi ke Barat. Terutama berkiblat ke Jerman sebagai kekuatan tandingan di belahan Eropa Barat yang mematahkan dominasi Inggris sebelumnya.
            Fakta ini menjadi pendukung dari pandangan Prof. Parangtopo, bahwa hanya negara yang ipteknya telah maju saat ini mampu memberi pengaruh dan mengambil peran dalam pergaulan internasional. Kita bisa menyaksikan bagaimana kekuatan ekonomi Amerika yang dibangun dari keunggulan teknologinya mampu menekan negara-negara dunia ketiga untuk mengakomodasi kepentingan politisnya. Bagi Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah, tentunya patut dipertanyakan secara serius, sejauh manakah mampu mengeksplorasi serta mengeksploitasi kekayaan tersebut dengan kemampuan sendiri, sehingga tidak menjadi bulan-bulanan negara maju.

Sistem HaKI Masih Dicurigai

Dalam sistem HaKI dimana Indonesia sudah manentukan sikap turut bergabung dalam perjanjian internasional TRIP’s, dimungkinkan suatu teknologi atau karya intelektual lainnya di lindungi di banyak negara yang menjadi tujuan pasar.  Sistem ini memberikan keuntungan kepada industri-industri transnasional yang mampu mengembangkan investasinya di beberapa negara, tanpa kekhawatiran produk-produknya akan diadopsi secara illegal.  Sistem HaKI paling tidak telah mampu mendorong negara-negara penganutnya untuk membangun sistem penegakan hukum yang dapat mengurangi tindak pelanggaran di bidang HaKI itu sendiri. Kendati demikian di Indonesia masih banyak pihak yang mengeluhkan, sehingga mempengaruhi pada tingkat keengganan masyarakat untuk mendaftarkan karya intelektualnya.
Dalam beberapa kasus, keluhan dari banyak kalangan terhadap sistem perlindungan HaKI pada umumnya lebih menyoroti pada hal-hal yang berkaitan dengan lemahnya penegakan hukum, tingginya biaya pendaftaran dan lambannya pelayanan administrasi. Namun belakangan menjadi sulit dibedakan antara keengganan masyarakat untuk mendaftarkan perlindungan karya intelektualnya dengan sedikitnya karya intelektual orisinal yang dihasilkan.
Bahkan masih ada yang berpendapat bahwa peniruan masih dapat dikategorikan sebagai kegiatan kreatifitas. Artinya hasil peniruan sebaiknya dianggap sebagai karya intelektual, dan karenanya berharap dapat diterima sebagai karya intelektual yang dilindungi.
Kalau mencoba mengembangkan dimensi pemikiran demikian, maka sesungguhnya dapat kita sadari bahwa ternyata masih  ada kalangan yang  belum berani mengakui  ketidak  mampuannya
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara profesional. Dari sudut hukum peniruan adalah “pencurian”. Seseorang yang meniru baru akan diberikan hak secara hukum atas  kekayaan intelektualnya jika peniruan itu telah ia kembangkan hingga mampu menghasilkan unsur kebaharuan.    
Hal yang menyedihkan adalah bila masyarakat tidak memahami sejauh mana ia boleh mengembangkan karya intelektual yang sudah ada sebelumnya, terutama di bidang software komputer. Seorang peneliti di Badan Tenaga Nuklir (Batan) Bandung sempat kebingungan ketika ia melakukan modifikasi software, apakah ia telah melakukan peniruan atau benar-benar telah menghasilkan kreasi baru. Kalangan industri software sendiri, khususnya industri software raksasa, belum menunjukkan sikap terbuka menghadapi perkembangan teknologi informasi di negara-negara berkembang.
Dalam kaitan ini, sangatlah tidak fair ketika sosialisasi HaKI hanya diarahkan pada target-target pembentukan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan “illegal adoption” terhadap suatu produk intelektual, seperti pembajakan karya cipta, peniruan, penggandaan dan sebagainya. Seakan-akan undang-undang di bidang perlindungan karya intelektual hanya diarahkan kepada masyarakat pengguna karya intelektual. Ini berarti yang dilindungi hanya para pembuat karya intelektual pendahulu. Kesan ini tentunya tidak boleh terbentuk di masyarakat.
Masyarakat juga harus diberikan informasi lengkap mengenai batasan-batasan teknis seberapa jauh ia boleh melakukan pengembangan tanpa dianggap sebagai pelanggaran. Panduan-panduan teknis ini harus cukup dibuka, sebab kalau tidak, sosialisasi pada akhirnya hanyalah sebuah upaya menakut-nakuti masyarakat agar mendeg berkreasi. Bahkan lebih jauh akan terkesan sosialisasi hanyalah sebuah upaya ekploitasi terselubung atas masyarakat pengguna produk intelektual yang dibatasi hak-haknya sebagai “homo sapien” untuk bebas berkreasi.

(Tulisan di atas telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia, edisi Rabu, 4 Juni 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar