Jumat, 22 Oktober 2010

MENYIKAPI PELANGGARAN HAK CIPTA

Oleh: Medy P. Sargo

Setelah berjalan hampir selama dua bulan kampanye anti pembajakan hak cipta dan upaya-upaya penegakan hukumnya, nampaknya belum menunjukkan hasil yang signifikan, khususnya secara moral, terutama dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan upaya pemerintah memberantas tindak pelanggaran di bidang hak cipta.
Kalau pandangan masyarakat diarahkan pada tindak pelangaran hak cipta hanya di bidang industri rekaman musik dan piranti lunak komputer, maka khawatir dapat menyesatkan pemahaman terhadap tujuan kampanye dan terkesan mengelabui.
Padahal di luar tindak pelanggaran terhadap produk karya cipta musik dan piranti lunak komputer masih banyak tindakan yang secara teknis dapat dikategorikan sebagai tindak pelanggaran hak cipta. Sebut saja pelanggaran di bidang penerbitan, industri kerajinan tangan, pertunjukan dan lain sebagainya.
Perkembangan akal manusia dari waktu ke waktu semakin mempertegas bahwa masa lalu adalah masa yang selalu harus digantikan. Pengetahuan serta pengenalan manusia terhadap gejala alam mendorong akal pada menciptaan karya-karya intelektual baru, sehingga hambatan-hambatan semakin tak berjarak dengan pemecahannya.
Demikian halnya dalam bidang seni, sastra  dan ilmu pengetahuan.  Pertautan antara kreativitas di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan dengan pelanggarannya hanya dipisahkan oleh garis tipis yang disebabkan belum singkronnya antara nilai-nilai hukum dan aparat penegaknya.
Bahkan kalau mau jujur, ketika pelanggaran hak cipta berkembang maka salah satu penyebabnya adalah terjadinya dekadensi moral sebagai tanda-tanda adanya pengaruh kuat dari kemerosotan ekonomi masal.
Seorang penulis novel mungkin dapat memberi inspirasi kepada seorang sutradara film untuk mengembangkan ide cerita, tetapi film adalah sebuah film dan novel tetap tak beranjak dari bentuknya sebagai novel. Siapa yang diuntungkan dan siapa yang mengklaim telah dirugikan. Sepanjang hak moral dan hak ekonomis seorang novelis terpenuhi, maka kolaborasi intelektual telah terjalin tanpa saling merugikan.
Belum Secara Arif
Akan berbeda halnya dengan seorang Inul Daratista yang mampu memberi inspirasi melalui “goyangan ngebornya” kepada seorang juru kamera amatir yang berhasil menggandakan dan meraup keuntungan secara ekonomis dari hasil peredaran VCD di pinggiran jalan.
Kerugian secara moral dan ekonomis yang dihadapi Inul Daratista walaupun segera tergantikan oleh popularitas yang mendatangkan keuntungan ekonomis sedemikian dahsyatnya, tetap saja merupakan persoalan yang tidak dapat ditanggalkan dari masalah pelanggaran hak cipta.
Pembajakan pada akhirnya akan membangun jaringan distributor di pinggir jalan yang kelak akan dijadikan kambing hitam dari agen-agen penjualan secara resmi bernama dan berbedera megah yang belum tentu bersih dari produk-produk bajakan.  
 Para pedagang eceran ini kalau ditanya pendapatnya soal pelanggaran hak cipta, tidak akan memberikan jawaban yang arif, tetapi mereka jujur untuk mengatakan bahwa mereka hanya mencari nafkah dari barang apa saja yang terjangkau dengan modal kecilnya, tanpa ijasah dan mengurus perijinan usaha berbendera megah. Bagi mereka yang penting memperoleh keuntungan realistis. 
Kalau ditanya dari mana mereka mendapatkan barang bajakan, mereka pun tak mampu menjawabnya untuk memuaskan rasa ingin tahu kita. Dalam statemen terbuka institusi Polri   bertekad akan menghancur leburkan jaringan distribusi.
Pertama-tama yang jadi sasaran adalah para pedagang menengah ke atas. Namun sayangnya   perhatian baru diarahkana pada kegiatan pelanggaran hak cipta atas karya musik dan piranti lunak komputer, yang nota bene lebih banyak mewakili kepentingan produsen dan pencipta dari luar negeri.
Padahal praktek lokal makan lokal pun tidak kalah hebatnya, dan tidak hanya di bidang karya rekaman musik. Sikap yang terkesan setengah hati dari upaya penegakan hukum ini disebabkan hanya karena tidak mempunyai anggaran yang cukup.
Padahal setiap tahunnya Direktorat Jenderal HaKI menyetorkan lebih dari Rp.25 miliar ke Departemen Keuangan dari hasil penerimaan negara bukan pajak. Suatu nilai yang tidak sedikit untuk dapat disisihkan bagi mendukung kampanye penegakan hukum di bidang HaKI.
Kaum pekarya intelektual pasti menyambut baik kampanye pemberantasan yang begitu bersemangat. Tapi sampai kapan energi ini akan bertahan, sementara Departemen Keuangan yang berkepentingan dengan target penerimaan pajak dari produk-produk HaKI begitu sepi, hampir tidak pernah terdengar dukungannya terhadap program ini.
Setelah hampir satu bulan pemberlakuan Undang-Undang Hak Cipta yang sarat dengan ancaman pidana bagi pelanggarnya, masih muncul keraguan masyarakat, akankah mampu undang-undang ini menyudahi bisnis ilegal di bidang hak cipta?
Keraguan ini wajar saja mengingat kalau kita melirik ke beberapa sudut kota di daerah pinggiran, masih dapat dijumpai pedagang asongan VCD. Seolah-olah tidak tersentuh oleh aparat penegak hukum.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang sudah diberlakukan efektif mulai tanggal 29 Juli 2003 mengisyaratkan adanya jaminan perlindungan hak moral maupun hak ekonomis bagi seorang pekarya di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi mengisyaratkan pula adanya ancaman pidana yang berat serta akan benar-benar dilaksanakan terhadap para pelanggar di bidang hak cipta.

Nilai Ekonomis  
Para pengguna karya intelektual tidak boleh bangga akan kemampuan melakukan pencurian ide (plagiat)  atau  pembajakan  hak moral  dan  hak ekonomis atas karya cipta orang lain. 
Demikian sebaliknya,  bagi seorang pekarya  di bidang  seni  dan ilmu pengetahuan tidak boleh puas oleh suatu penghargaan bersifat moral saja, ia harus bebas pada upaya pemberdayaan karya intelektual secara ekonomis.
Mungkin pandangan ini akan ditolak oleh kalangan kontra proteksionis. Namun jujur, bahwa sesungguhnya sebuah sistem kekaryaan tidak begitu memerlukan idealisme yang secara angkuh akan memberi jarak pada upaya pemberdayaan suatu karya menjadi barang dagangan.
Seorang seniman lukis misalnya, tidak dapat bertahan dengan hanya mempertontonkan karya lukisnya tanpa membuka peluang bisnis sebagai penghargaan terhadap karya itu sendiri. Sadar atau tidak sadar, nilai moral menjadi terposisikan sebagai faktor kelas dua setelah nilai ekonomis, namun tidak jarang berada di kelas yang sama pada suatu waktu.
Ini barangkali yang menjadi awal tumbuhnya kepentingan ekonomis atas karya-karya intelektual. Bahkan kalangan yang berada di luar dunia penciptaan pun tidak kalah kepentingannya terhadap upaya komersialisasi atas sebuah karya intelektual.
Ada banyak pandangan seputar tindak pelanggaran HaKI, sebut saja dalam kasus pembajakan VCD yang dapat dijual dengan harga jauh lebih murah dari barang aslinya. Kenapa masyarakat dipaksa harus membeli produkkebutuhannya dengan harga di luar kemampuannya. Untuk siapa sebenarnya karya intelektual dibuat.
            Anggapan banyak kalangan tentang barang bajakan sayangnya baru dibatasi oleh suatu identifikasi keliru bahwa barang yang murah pasti bajakan, barang berkualitas rendah pasti bajakan, barang yang dijual di pinggiran jalan pasti bajakan.
Padahal sementara ini belum ada jaminan bahwa barang-barang seperti kaset atau VCD yang dijual dengan harga tinggi di toko resmi dan bernama adalah merupakan barang bukan bajakan.
Ada dua pemahaman masyarakat terhadap barang bajakan. Pertama, barang bajakan dipahami sebagai barang tiruan yang diproduksi oleh pihak yang tidak berhak (bukan pemiliknya), kadangkala hal ini dikaitkan dengan kualitas dari barang bajakan tersebut yang dianggap kurang bagus.
Kedua,  hanya sebagai dugaan, barang bajakan dipahami sebagai barang asli yang diproduksi kembali oleh produsen pendahulunya namun melalui proses produksi dapur kedua, yang distribusinya tidak melalui prosedur yang legal dengan tujuan menghindari pajak serta menghindari kewajiban membayar royalti kepada pihak-pihak yang berhak.
Pada pemahaman kedua ini, barang bajakan tersebut secara kualitas dapat mungkin dibuat nampak beda dengan produk yang dikategorikan sebagai aslinya.
Akan tetapi untuk mensiasati atau mengelabui berbagai pihak, sangat mungkin pelaku memberikan ciri khusus dengan  menurunkan kualitas kemasannya agar terhindar dari kecurigaan masyarakat, dan melemparkannya kepada penjual eceran sebagai pengalihan perhatian serta sekaligus penciptaan kambing hitam. 
Sementara pihak artis bisa mungkin benar-benar tidak mengetahui praktek-praktek yang dilakukan produser, tetapi bisa mungkin juga mengetahui namun mengambil sikap diam atau didiamkan oleh kepentingan bersama-sama dengan produsernya, semata-mata untuk menghindari kewajiban pajak dan biaya-biaya lainnya.
Bila hal itu telah menjadi pola yang apik, maka akan menyulitkan pihak kepolisian untuk membongkarnya. Dan kesulitan pihak kepolisian itu akan lebih mempersulit posisi Indonesia di arena pergaulan internasional ke depan.
Akankah kita meyakini bahwa tatkala jaringan distribusi berhasil dihancur leburkan, maka tidak akan tumbuh pola lain yang lebih apik. Buktinya di negara-negara industri maju yang selama ini dengan keras mengecam tindak pelanggaran hak cipta di Indonesia sekalipun, nyatanya belum dapat membersihkan praktek-praktek serupa.  

(Tulisan di atas telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia, edisi Rabu, 1 Oktober 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar