Jumat, 01 Februari 2013

Pengganti Mobil Konvensional

Pengganti Mobil Konvensional
Print PDF Facebook Twitter Email


Medy P Sargo
Kepala Bidang Perguruan Tinggi & Lemlitbang, Kemenristek

Beberapa hari lalu, banyak pemberitaan tentang rencana pemerintah mengembangkan mobil listrik yang dijanjikan bakal mampu menggantikan mobil konvensional yang menggunakan bahan bakar minyak. Bukan tanpa alasan pemerintah menggaungkan program mobil listrik ini. Mobil listrik didesain sebagai produk ramah lingkungan dan di saat yang sama pemerintah sedang giat-giatnya mengampanyekan hemat energi bahan bakar minyak sehubungan dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia. Menurut catatan US Geological Survey Oil and Gas Journal, 1995-2000, persediaan cadangan minyak di bumi Indonesia diperkirakan tinggal cukup untuk jangka waktu 15 tahun saja dengan asumsi tingkat konsumsi tinggi 5-6 persen setahun.

Kendati antusiasme masyarakat tidak setinggi ketika mobil Esemka hasil rancangan pelajar SMK Solo diperkenalkan kepada publik, kali ini justru pemerintah sepertinya yang jauh lebih menyemangati program mobil listrik yang akan digiring sebagai mobil nasional. Konon teknologi pendukungnya sudah dilakukan penelitian oleh LIPI sejak tahun 80-an kendati belum satu pun patennya yang terbit ke permukaan. Soal itu, tampaknya tidak jauh berbeda dengan mobil Esemka.

Mobil listrik adalah kendaraan bermesin yang menggunakan listrik penggerak yang disimpan dalam baterai tanpa menggunakan bahan bakar minyak atau gas. Di beberapa negara industri mobil listrik dalam berbagai seri sudah banyak diproduksi. Di antaranya Tesla Roadster, Renault Fluence ZE, Mitsubishi i MiEV, Nissan Leaf, Smart ED, Ford Focus Electric, BMW ActiveE, dan Coda. Namun, hingga awal April 2012 baru sekitar 27.000 unit terjual di seluruh dunia.

Kehadiran mobil listrik nasional nanti diharapkan mampu menjawab persoalan kelangkaan bahan bakar minyak dan gas di masa depan. Beberapa negara di Eropa sudah mulai memikirkan ke arah itu. Kendati sampai sejauh ini belum ada satu negara pun yang berhasil menggantikan mobil konvensional berbahan bakar minyak dengan mobil listrik. Rata-rata baru untuk kalangan terbatas. Lalu bagaimana halnya dengan Indonesia, akankah mobil listrik yang digiring sebagai kendaraan masa depan itu mampu diproduksi secara massal dengan mengandalkan teknologi domestik?

Perlu Waktu

Terlepas dari persoalan kemungkinan pupusnya harapan masyarakat, perlu dikaji dengan kepala dingin terhadap segala aspek yang memengaruhi sebuah produk teknologi bernilai ekonomi tinggi seperti kendaraan bermotor. Sebuah industri otomotif sebesar Toyota, misalnya, ternyata perlu mengembangkan teknologi dan desainnya secara terus-menerus untuk bisa mempertahankan pasarnya di dunia. Begitu pun Hyundai atau industri mobil lain yang telah mendapat tempat di pasar dunia. Apalagi untuk mobil listrik yang masih membutuhkan pengakuan masyarakat dan menuntut perubahan gaya hidup konsumen, khususnya di Indonesia.

Untuk mobil konvensional saja India setidaknya memerlukan lebih dari 10 tahun guna mengubah teknologi dan desain produknya agar dapat masuk ke pasar dunia kendati konsumen domestiknya tidak terlalu menuntut suatu perubahan radikal dari produk-produk dalam negerinya. Kabarnya masyarakat India lebih mengedepankan penghargaan terhadap produk dalam negerinya. Ini tentu sangat berbeda dengan masyarakat Indonesia yang sudah telanjur konsumtif dan cenderung memilih merek-merek berbau impor. Sebenarnya tidak sedikit produk nasional yang memiliki kualitas baik, tetapi terhadap produk-produk berteknologi tinggi, masih ada semacam sikap keraguan.

Saat ini sedang ditunjukkan seakan-akan masyarakat telah membuka mata untuk mengakui bahwa karya besar produk berteknologi tinggi ternyata bisa dihasilkan anak bangsa. Sungguhkah demikian? Bukankah selama ini tidak pernah ditunjukkan siapa yang berani mempertanggungjawabkan patennya. Padahal, sebuah teknologi baru yang akan dikembangkan dalam skala industri, sebaiknya dipatenkan lebih dulu sebab sulit dipercaya sebuah produk yang menggunakan teknologi lapuk akan mampu berkompetisi di era perdagangan global. Teknologi itu harus sudah teruji, bukan saja dari aspek kelaikan secara teknis, tetapi juga manfaat ekonomi dan kepercayaan publik.

Tentu akan sangat memilukan bagi bangsa ini jika setelah kampanye besar-besaran yang dilakukan pemerintah agar masyarakat bisa menerima produk anak bangsa tiba-tiba pada kenyataannya nanti yang beredar justru produk luar negeri, atau mungkin produk hasil kemitraan dengan konten lokal yang sangat minim.

Perlu Dana Besar

Ada kekhawatiran program pengembangan mobil listrik bisa-bisa kandas di tengah jalan, hanya karena korban politik perdagangan di era global. Bagaimana tidak, sebuah harapan yang menggebu-gebu akhirnya harus ditumbangkan oleh berbagai kendala yang mungkin sulit dipahami. Akan tetapi, dalam ketidakpastian menyangkut jaminan akan berbagai aspek mulai dari teknologi sampai pada sertifikasi, tidak akan ada industri yang berani berspekulasi untuk memproduksi secara massal. Kalaupun ada, semoga bukan kegiatan "dolanan". Setidaknya, diperlukan dana yang cukup besar untuk pengembangan hingga layak diproduksi massal. Karena itu, pemerintah dibutuhkan campur tangannya pada batas-batas yang memungkinkan, tetapi jangan terkesan justru seakan-akan lebih melindungi kepentingan negara industri maju.

Jika mobil listrik akhirnya diproduksi secara massal, paling tidak ada beberapa catatan yang perlu menjadi pertimbangan. Pertama, tidak boleh menggunakan suatu komponen tanpa lisensi yang desain ataupun patennya masih milik industri otomotif lain. Kedua, jika menggunakan komponen hasil inovasi sendiri, harus memastikan bahwa karya inovasi tersebut sudah dilindungi dalam sistem hak kekayaan intelektual di Indonesia maupun di negara-negara lain yang akan menjadi tujuan pasar. Ketiga, harga produk nasional harus murah, namun dijamin aspek keselamatan, kenyamanan, dan fungsinya. Keempat, produksi massalnya harus dikuasai sebuah perusahaan PMDN yang kuat. Kelima, pemasarannya harus dikuasai beberapa distributor yang berpihak pada kepentingan nasional.

Catatan tersebut setidaknya dapat mengawal keberlangsungan mobil listrik sebagai produk yang diminati masyarakat untuk jangka waktu tertentu hingga muncul sebuah kemungkinan lain yang bersifat politis. Bagaimanapun Indonesia pernah memiliki pengalaman pahit menyangkut kebijakan nasional di bidang teknologi dan industri. Tengok saja bagaimana nasib sebuah industri pesawat terbang sebesar PT Dirgantara Indonesia (dahulu bernama PT IPTN) dan proyek mobil nasional Maleo yang telah menjadi korban politik ekonomi dunia. Akankah situasi seperti itu berulang kembali di negeri ini? Semoga bukan sekadar dolanan. (Koran Jakarta, 4 Juli 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar