Jumat, 01 Februari 2013

Royalti, Impian Inventor

Royalti, Impian Inventor
Print PDF Facebook Twitter Email


Medy P Sargo
Kepala Bidang Perguruan Tinggi & Lemlitbang, Kemenristek

Setelah kontroversi mengenai isu kesejahteraan peneliti mengemuka, kini di kalangan dunia kepenelitian muncul isu tentang royalti (imbalan bagi hasil) bagi peneliti, khususnya di kalangan mereka yang telah berhasil menelurkan invensi (penemuan teknologi baru) bernilai ekonomi.

Berbeda dengan pekerja di bidang seni, seperti pencipta lagu atau penulis novel yang bisa kaya mendadak jika karyanya sukses di pasar, jaminan kesejahteraan bagi inventor (orang yang menemukan teknologi baru), khususnya yang berstatus pegawai negeri sipil, baik peneliti maupun perekayasa, masih jauh panggang dari api.

Bagaimana tidak? Bagi inventor yang terikat dengan sebuah institusi tempat mereka bekerja, invensi yang ia hasilkan, sepanjang berkaitan dengan penugasan dan pembiayaan oleh institusi tempatnya bekerja, akan menjadi milik institusi. Inventornya sendiri belum tentu dapat menikmati langsung manfaat ekonomi dari komersialisasi invensi tersebut.

Sungguh pun inventor dapat memiliki hak royalti atau imbalan dari pemanfaatan invensi secara komersial. Namun, pada praktiknya tidak serta-merta dapat meraih impian tersebut. Dalam undang-undang tentang hak kekayaan intelektual (HKl), seperti Undang-Undang Paten atau Undang-Undang Hak Cipta, terdapat ketentuan yang mengatur royalti. Pengaturan itu cukup jelas, misalnya Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 14/2001 tentang Paten menyebutkan bahwa inventor berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi tersebut.

Belum diatur khusus
Hak itu jelas sudah dijamin dalam undang-undang. Namun, bagi institusi pemerintahan, implementasinya memang tidak cukup hanya mendasarkan pada pasal undang-undang tersebut. Memang sulit dimengerti mengapa hingga saat ini belum ada instrumen hukum yang secara khusus bisa melandasi pelaksanaan Pasal12 tersebut.

Sebuah lembaga litbang milik pemerintah ataupun perguruan tinggi negeri tidak memiliki kewenangan atas pengelolaan anggaran yang diterima dari publik. Dalam konteks penerimaan royalti dari industri sebagai kompensasi atas pemanfaatan HKI hasil litbang, oleh UU Nomor 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), penerimaan royalti tersebut diperlakukan sebagai penerimaan negara bukan pajak yang harus segera disetor ke kas negara.

Ketentuan yang demikian cukup masuk akal; ketika negara telah mengeluarkan sekian banyak biaya penelitian kemudian mengklaim kepemilikan hasilnya sebagai aset negara. Namun, ketentuan tersebut sepertinya mengabaikan economic rights seorang inventor, kecuali moral rights semata. Padahal secara nyata seorang inventor telah berkontribusi, khususnya melibatkan brainware dalam kegiatan penelitian hingga menghasilkan teknologi bernilai ekonomi tinggi.

Bila melihat betapa rumitnya sistem penganggaran bagi pelaksanaan kegiatan penelitian yang belum mengakomodasi reward system secara memadai, dapat dipahami jika muncul anggapan bahwa pengaturan sistem keuangan negara untuk kegiatan riset di bidang teknologi terkesan kaku. Menurut hemat penulis, negara bisa saja menerbitkan peraturan yang memungkinkan penyetoran PNBP ke kas negara dilakukan setelah kewajiban pajak dan pembayaran royalti inventor dilaksanakan.

Seorang inventor yang bekerja di sebuah lembaga riset di Amerika, misalnya di Battelle Memorial Institute (BMI) yang berpusat di Columbus City, akan menerima royalti sebesar 10% dari hasil penjualan paten yang dilakukan institusinya. Angka sebesar itu membebaskan inventor dari kewajiban mengelola paten selama masa perlindungannya aktif. Ketentuan itu berlaku juga di sebuah industri pesawat terbang raksasa Boeing yang berpusat di Seattle. Bahkan beberapa perusahaan dan perguruan tinggi di Jepang dan Taiwan juga menerapkan kebijakan yang sama.

Royalti sebagai penghargaan
Pemberian penghargaan dalam bentuk royalti kepada inventor merupakan hal yang lumrah mengingat suatu karya intelektual lahir atas kerja keras seorang atau sekelompok orang yang mengabdikan dirinya pada ilmu pengetahuan. Terlepas apakah kemampuan yang dimiliki seorang inventor merupakan berkat pendidikan yang dibiayai oleh negara atau bukan, yang pasti hasil karya penelitian dapat memberi manfaat bagi kehidupan dan bahkan sangat mungkin menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Namun, tentu saja negara tidak dapat memperlakukan sama terhadap hasil-hasil penelitian. Tidak semua hasil penelitian dapat menggandeng inventornya meraih hak royalti. Royalti hanya patut diberikan kepada inventor jika invensinya telah memberi manfaat ekonomi, dan untuk itu harus dapat dimanfaatkan oleh industri.

Persoalan akan muncul jika sebuah invensi tidak dilindungi dalam sistern hak kekayaan intelektual, sebuah lembaga litbang ataupun perguruan tinggi sebagai penghasil teknologi tidak serta-merta memiliki kewenangan atas pemberian lisensi kepada pihak manapun. Sebab, perjanjian lisensi teknologi hanya mungkin dilakukan jika objek lisensi adalah teknologi yang telah mendapatkan perlindungan hukum dalam sistem HKI.

Tentu saja hasil-hasil penelitian yang tidak dilindungi secara hukum belum bisa dikategorikan ke dalam HKI karena belum memperoleh legalitas kepemilikan dari negara. Kendati, pendaftaran HKI pun sebenarnya baru merupakan asumsi hukum atas legalitas kepemilikan hingga terbukti sebaliknya.

Namun, demikianlah adanya perlakuan hukum atas sebuah karya intelektual. Karena itulah objek dalam perjanjian lisensi harus berstatus jelas, siapa pemilik asetnya. Dengan begitu, pemilik aset berwenang memberikan lisensi dan berhak mendapatkan royalti, hingga turunannya akan jatuh pula kepada royalti inventor.

Sistem royalti akan lebih mendorong para peneliti atau perekayasa fokus pada kegiatan penelitian yang bermanfaat bagi industri. Dengan demikian, sekaligus akan mendorong industri kreatif berkembang pesat hingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih kuat. Pemerintah seyogianya melihat prospek ini sebagai tantangan yang menggairahkan sejalan dengan program pengembangan industri kreatif. Apalagi saat ini pemerintah sedang mengajukan perubahan atas UU Nomor 20/1997. Ini adalah saat yang tepat memasukkan isu royalti inventor dalam daftar inventarisasi masalah bagi perubahan undang-undang PNBP tersebut. Jika tidak, pertanyaannya ialah kapan akan dimulai?  (Media Indonesia, 1 Mei 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar