Sabtu, 30 Oktober 2010

TIMOR TIMUR, SANG NEGERI


Oleh : Medy P. Sargo

          Jajak pendapat di Timor Timur telah usai dan memberikan kemenangan mutlak bagi kelompok rakyat yang anti integrasi. Hanya 21% dari jumlah peserta jajak pendapat yang memilih opsi otonomi khusus, atau yang tetap berintegrasi dengan negara kesatuan Republik Indonesia.
            Ada kekhawatiran pihak pro integrasi tidak puas dengan kenyataan ini, oleh karena sebelum jajak pendapat dilaksanakan banyak ditemukan kecurangan-kecurangan yang dilakukan petugas UNAMET. Selain itu memang pada dasarnya diperkirakan pihak pro integrasi tidak begitu mudah dapat menghadapi kekalahan ini, mengingat ketidak yakinan akan jaminan keselamatan jiwanya ketika pihak anti integrasi mulai berkuasa nanti. Selain itu, bahkan merupakan alasan yang utama adalah bahwa deklarasi Balibo pada tahun 1976 sudah merupakan putusan final atas kesepakatan rakyat Tim-Tim untuk bergabung dengan Indonesia.
            Pada pergerakan pasca jajak pendapat ini, sulit diharapkan akan adanya keterlibatan besar pemerintah Indonesia seperti ketika perjuangan terdahulu yang mengantarkan pada proses penggabungan Timor Timur dengan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Sebab paling tidak pada pasca jajak pandapat ini, dunia internasional, terutama Amerika Serikat akan mengawasi perkembangan yang terjadi di Timor Timur dari detik ke detik untuk setiap jengkal tanah di Timor Timur. Berbeda dengan situasi pada tahun 1976, ketika proses integrasi, pada waktu itu Amerika mempunyai prioritas kepentingan yang berbeda, sehingga mendukung masuknya tentara Indonesia mempercepat proses integrasi tersebut. Kala itu kepentingan Amerika telah terwakili  oleh Indonesia ketika kebijaksanaan politiknya condong pada upaya konsentrasi kekuatan militer di Asia Tenggara guna membendung arus komunisme ke wilayah selatan (khususnya Australia dan New Zeland: sama-sama anggota pakta pertahanan ANZUS), terlebih lagi ketika peperangan di Indochina telah memupuskan harapan Amerika untuk melumpuhkan komunisme. Sementara Indonesia kemudian dijadikan gerbang pertama penghalau intervensi komunisme ke daratan Australia terutama dari wilayah Cina dan Uni Soviet.
             Sekarang setelah kekuatan komunisme dianggap telah melemah, bersamaan dengan kehancuran komunisme di Eropa, terutama di Uni Sovyet; terpuruknya perekonomian Vietnam pasca perang; dan berkurangnya dukungan negara-negara sahabat terhadap Cina, maka Amerika mengembangkan skenario yang lain, lebih berorientasi pada pengamanan kepentingan Amerika secara langsung di wilayah ini. Sementara ini ada dugaan bahwa Amerika akan menjadikan Timor Timur sebagai pangkalan militer menggantikan Filipina yang sudah lama ditinggalkan. Ini demi kelangsungan asset Amerika di Asia Tenggara.

Hidup Damai.
            Masyarakat Timor Timur yang pro integrasi agaknya perlu memikirkan tentang pilihan sikap yang tepat dalam memasuki era pasca jajak pendapat. apakah akan tetap berperang menghadapi kelompok anti integrasi dengan segala konsekuensi terburuk, atau mengambil sikap kompromize bergabung secara total dengan masyarakat anti integrasi untuk hidup damai membangun negerinya, tanpa harus berpikir perlunya membangun strategi perang gerilya melawan bangsanya sendiri. Setidak-tidaknya membuang harapan yang sulit dicapai, setelah menghadapi kenyataan adanya keraguan tentang seberapa jauh keseriusan Indonesia dapat menghargai serta memelihara kepercayaan rakyat Timor Timur untuk tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Juga seberapa besar arti dari keinginan masyarakat Timor Timur untuk tetap bergabung dengan Indonesia, yang mestinya dapat dipahami benar secara bebas oleh masyarakat Timor Timur itu sendiri.
            Sudah waktunya rakyat Timor Timur hidup tenang dan damai, memikirkan kesejahteraannya melalui upaya pembangunan secara bersama-sama tanpa konflik berdarah antar kepentingan.
            Para pengamat politik memberi kesan tentang kemampuan pemerintah Indonesia untuk memelihara kepercayaan rakyat Timor Timur yang telah terwujud sebelumnya sebagai kegagalan. Kegagalan ini rupanya lantas diindikasikan dengan munculnya pernyataan-pernyataan bernada protes dari berbagai kalangan atas kebijaksanaan pemerintah memberikan dua opsi kepada masyarakat Tim-Tim yang kemudian harus ditentukan dalam jajak pendapat.
            Bagi kalangan masyarakat Timor Timur yang pro integrasi dan kalangan pejuang yang telah mempertaruhkan jiwa raganya membantu mempercepat proses integrasi wilayah Timor-Timur ke dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1976, memandang kebijaksanaan pemerintah tersebut sebagai menyakiti perasaan.

Bantuan Indonesia.
            Berpisahnya Timor Timur dari Indonesia sepertinya sangat dinanti-nantikan oleh banyak negara, khususnya Australia, yang sejak lama selalu menggembar-gemborkan pembelaannya atas nasib rakyat Timor Timur.  Kampanye Australia terkesan sangat ambisius dan berbau hipokrit bila mengingat pada apa yang telah diperbuatnya terhadap penduduk asli (aborigin) di negerinya, dan jauh lebih buruk dari apa yang dilakukan Amerika. Bahkan Australia,  berani memberi iming-iming untuk menarik simpati rakyat Timor-Timur, dengan menyatakan siap menyediakan dana bantuan untuk membangun perekonomian Timor Timur apabila lepas dari Indonesia. Kampanye Australia ini berdimensi dagang, sama sekali tak mengubah citra Australia sebagai bangsa yang sangat kurang bisa bertetangga baik dengan bangsa-bangsa Asia.
            Indonesia sebenarnya bisa melakukan strategi yang sama, ketimbang mengembangkan argumentasi mencari pembenaran atas segala tindakan Indonesia di masa lalu, apalagi melalui pendekatan militer. Bukanlah hal yang janggal apabila Indonesia dapat tetap membantu pembangunan ekonomi di Timor-Timur. Setidak-tidaknya cara ini dapat mengimbangi kecongkakan Australia. Sekaligus menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berjiwa besar.
            Pengaruh Indonesia di Timor Timur akan dapat menyelematkan Timor-Timur dari eksploitasi habis-habisan oleh Australia dan Amerika. Bagaimana pun Timor Timur yang berdaulat akan merupakan negara tetangga terdekat Indonesia. Pengalaman Indonesia dalam menghadapi kecurangan-kecurangan negara lain mesti dapat diajarkan kepada rakyat Timor-Timur, sehingga negara kecil yang hanya bependuduk sekitar 500.000 jiwa ini dapat mempertahankan keberadaannya dari dominasi kepentingan asing atas suatu bangsa yang memiliki harga diri sejati sebagaimana selama ini diklaimnya.

Kerelaan Rakyat Indonesia.
            Bagi Amerika maupun Australia, keberadaan Timor Timur sebagai sebuah negara yang merdeka, bukanlah merupakan tujuan akhir, mengingat dari upaya-upaya diplomasi yang dilakukannya tendensius pada pemenangan kepentingan kedua negara tersebut. Alasan-alasan yang dikemukakan negara-negara ini selalu berkisar soal hak azasi manusia dan hak atas penentuan nasib sendiri. Tentu saja issue ini sangat menyentuh emosi rakyat Timor Timur. Kedua negara ini sampai saat ini tidak pernah tertarik mengemukakan alasan yang berlatar atas kualitas pembangunan fisik yang diselenggarakan pemerintah Indonesia di Timor Timur. Mereka tak menemukan alasan untuk mengangkat issue ini sebagai suatu kelemahan Indonesia, karena fakta menunjukkan bahwa wilayah ini sejak ditinggalkan penjajahnya, Portugal, telah diperbaiki secara berencana oleh pemerintah Indonesia dengan segala keterbatasan yang ada. Sementara seluruh lapisan masyarakat Indonesia di semua bagian wilayah mendukung serta merelakan sebagian haknya disumbangkan untuk memperbaiki taraf perekonomian masyarakat Timor Timur, sebagai saudara sekandung yang didudukkan sederajad, dan diberikan pendidikan yang sama.
            Mungkin saja kualitas perekonomian Timor-Timur sebagai suatu negara, akan berangsur-angsur lebih maju dari pada sebelumnya, tetapi apakah akan sepadan dengan harkat kebangsaan orang Timor-Timur yang bakal diletakkan di bawah kepentingan Amerika dan Australia. Mungkinkah terdapat persepsi yang sama mengenai soal ini antara rakyat Timor Timur pada umumnya dengan para pemimpinnya yang memang ambisius menjadi pemimpin negeri itu.  Kita hanya butuh waktu dalam 5 sampai 10 tahun saja untuk membuktikan kesangsian ini.
            Sekaligus kita akan mengetahui apakah seluruh rakyat Timor Timur akan sejalan dengan prinsip-prinsip yang dianut para pemimpinnya dalam mencapai tujuan kemerdekaannya. Yang jelas Timor Timur yang kuat mustahil dapat bertumpu pada kekuatan cita-cita kemerdekaannya belaka, kecuali ia merupakan bagian dari suatu wilayah negara kesatuan yang besar seperti Indonesia, atau terpaksa menjual ”diri” pada negeri seberang yang berseberangan dalam banyak hal sekalipun.


(Tulisan di atas telah dimuat di Harian Pelita, edisi Rabu, 8 September 1999)

Jumat, 22 Oktober 2010

MENYIKAPI PELANGGARAN HAK CIPTA

Oleh: Medy P. Sargo

Setelah berjalan hampir selama dua bulan kampanye anti pembajakan hak cipta dan upaya-upaya penegakan hukumnya, nampaknya belum menunjukkan hasil yang signifikan, khususnya secara moral, terutama dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan upaya pemerintah memberantas tindak pelanggaran di bidang hak cipta.
Kalau pandangan masyarakat diarahkan pada tindak pelangaran hak cipta hanya di bidang industri rekaman musik dan piranti lunak komputer, maka khawatir dapat menyesatkan pemahaman terhadap tujuan kampanye dan terkesan mengelabui.
Padahal di luar tindak pelanggaran terhadap produk karya cipta musik dan piranti lunak komputer masih banyak tindakan yang secara teknis dapat dikategorikan sebagai tindak pelanggaran hak cipta. Sebut saja pelanggaran di bidang penerbitan, industri kerajinan tangan, pertunjukan dan lain sebagainya.
Perkembangan akal manusia dari waktu ke waktu semakin mempertegas bahwa masa lalu adalah masa yang selalu harus digantikan. Pengetahuan serta pengenalan manusia terhadap gejala alam mendorong akal pada menciptaan karya-karya intelektual baru, sehingga hambatan-hambatan semakin tak berjarak dengan pemecahannya.
Demikian halnya dalam bidang seni, sastra  dan ilmu pengetahuan.  Pertautan antara kreativitas di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan dengan pelanggarannya hanya dipisahkan oleh garis tipis yang disebabkan belum singkronnya antara nilai-nilai hukum dan aparat penegaknya.
Bahkan kalau mau jujur, ketika pelanggaran hak cipta berkembang maka salah satu penyebabnya adalah terjadinya dekadensi moral sebagai tanda-tanda adanya pengaruh kuat dari kemerosotan ekonomi masal.
Seorang penulis novel mungkin dapat memberi inspirasi kepada seorang sutradara film untuk mengembangkan ide cerita, tetapi film adalah sebuah film dan novel tetap tak beranjak dari bentuknya sebagai novel. Siapa yang diuntungkan dan siapa yang mengklaim telah dirugikan. Sepanjang hak moral dan hak ekonomis seorang novelis terpenuhi, maka kolaborasi intelektual telah terjalin tanpa saling merugikan.
Belum Secara Arif
Akan berbeda halnya dengan seorang Inul Daratista yang mampu memberi inspirasi melalui “goyangan ngebornya” kepada seorang juru kamera amatir yang berhasil menggandakan dan meraup keuntungan secara ekonomis dari hasil peredaran VCD di pinggiran jalan.
Kerugian secara moral dan ekonomis yang dihadapi Inul Daratista walaupun segera tergantikan oleh popularitas yang mendatangkan keuntungan ekonomis sedemikian dahsyatnya, tetap saja merupakan persoalan yang tidak dapat ditanggalkan dari masalah pelanggaran hak cipta.
Pembajakan pada akhirnya akan membangun jaringan distributor di pinggir jalan yang kelak akan dijadikan kambing hitam dari agen-agen penjualan secara resmi bernama dan berbedera megah yang belum tentu bersih dari produk-produk bajakan.  
 Para pedagang eceran ini kalau ditanya pendapatnya soal pelanggaran hak cipta, tidak akan memberikan jawaban yang arif, tetapi mereka jujur untuk mengatakan bahwa mereka hanya mencari nafkah dari barang apa saja yang terjangkau dengan modal kecilnya, tanpa ijasah dan mengurus perijinan usaha berbendera megah. Bagi mereka yang penting memperoleh keuntungan realistis. 
Kalau ditanya dari mana mereka mendapatkan barang bajakan, mereka pun tak mampu menjawabnya untuk memuaskan rasa ingin tahu kita. Dalam statemen terbuka institusi Polri   bertekad akan menghancur leburkan jaringan distribusi.
Pertama-tama yang jadi sasaran adalah para pedagang menengah ke atas. Namun sayangnya   perhatian baru diarahkana pada kegiatan pelanggaran hak cipta atas karya musik dan piranti lunak komputer, yang nota bene lebih banyak mewakili kepentingan produsen dan pencipta dari luar negeri.
Padahal praktek lokal makan lokal pun tidak kalah hebatnya, dan tidak hanya di bidang karya rekaman musik. Sikap yang terkesan setengah hati dari upaya penegakan hukum ini disebabkan hanya karena tidak mempunyai anggaran yang cukup.
Padahal setiap tahunnya Direktorat Jenderal HaKI menyetorkan lebih dari Rp.25 miliar ke Departemen Keuangan dari hasil penerimaan negara bukan pajak. Suatu nilai yang tidak sedikit untuk dapat disisihkan bagi mendukung kampanye penegakan hukum di bidang HaKI.
Kaum pekarya intelektual pasti menyambut baik kampanye pemberantasan yang begitu bersemangat. Tapi sampai kapan energi ini akan bertahan, sementara Departemen Keuangan yang berkepentingan dengan target penerimaan pajak dari produk-produk HaKI begitu sepi, hampir tidak pernah terdengar dukungannya terhadap program ini.
Setelah hampir satu bulan pemberlakuan Undang-Undang Hak Cipta yang sarat dengan ancaman pidana bagi pelanggarnya, masih muncul keraguan masyarakat, akankah mampu undang-undang ini menyudahi bisnis ilegal di bidang hak cipta?
Keraguan ini wajar saja mengingat kalau kita melirik ke beberapa sudut kota di daerah pinggiran, masih dapat dijumpai pedagang asongan VCD. Seolah-olah tidak tersentuh oleh aparat penegak hukum.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang sudah diberlakukan efektif mulai tanggal 29 Juli 2003 mengisyaratkan adanya jaminan perlindungan hak moral maupun hak ekonomis bagi seorang pekarya di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi mengisyaratkan pula adanya ancaman pidana yang berat serta akan benar-benar dilaksanakan terhadap para pelanggar di bidang hak cipta.

Nilai Ekonomis  
Para pengguna karya intelektual tidak boleh bangga akan kemampuan melakukan pencurian ide (plagiat)  atau  pembajakan  hak moral  dan  hak ekonomis atas karya cipta orang lain. 
Demikian sebaliknya,  bagi seorang pekarya  di bidang  seni  dan ilmu pengetahuan tidak boleh puas oleh suatu penghargaan bersifat moral saja, ia harus bebas pada upaya pemberdayaan karya intelektual secara ekonomis.
Mungkin pandangan ini akan ditolak oleh kalangan kontra proteksionis. Namun jujur, bahwa sesungguhnya sebuah sistem kekaryaan tidak begitu memerlukan idealisme yang secara angkuh akan memberi jarak pada upaya pemberdayaan suatu karya menjadi barang dagangan.
Seorang seniman lukis misalnya, tidak dapat bertahan dengan hanya mempertontonkan karya lukisnya tanpa membuka peluang bisnis sebagai penghargaan terhadap karya itu sendiri. Sadar atau tidak sadar, nilai moral menjadi terposisikan sebagai faktor kelas dua setelah nilai ekonomis, namun tidak jarang berada di kelas yang sama pada suatu waktu.
Ini barangkali yang menjadi awal tumbuhnya kepentingan ekonomis atas karya-karya intelektual. Bahkan kalangan yang berada di luar dunia penciptaan pun tidak kalah kepentingannya terhadap upaya komersialisasi atas sebuah karya intelektual.
Ada banyak pandangan seputar tindak pelanggaran HaKI, sebut saja dalam kasus pembajakan VCD yang dapat dijual dengan harga jauh lebih murah dari barang aslinya. Kenapa masyarakat dipaksa harus membeli produkkebutuhannya dengan harga di luar kemampuannya. Untuk siapa sebenarnya karya intelektual dibuat.
            Anggapan banyak kalangan tentang barang bajakan sayangnya baru dibatasi oleh suatu identifikasi keliru bahwa barang yang murah pasti bajakan, barang berkualitas rendah pasti bajakan, barang yang dijual di pinggiran jalan pasti bajakan.
Padahal sementara ini belum ada jaminan bahwa barang-barang seperti kaset atau VCD yang dijual dengan harga tinggi di toko resmi dan bernama adalah merupakan barang bukan bajakan.
Ada dua pemahaman masyarakat terhadap barang bajakan. Pertama, barang bajakan dipahami sebagai barang tiruan yang diproduksi oleh pihak yang tidak berhak (bukan pemiliknya), kadangkala hal ini dikaitkan dengan kualitas dari barang bajakan tersebut yang dianggap kurang bagus.
Kedua,  hanya sebagai dugaan, barang bajakan dipahami sebagai barang asli yang diproduksi kembali oleh produsen pendahulunya namun melalui proses produksi dapur kedua, yang distribusinya tidak melalui prosedur yang legal dengan tujuan menghindari pajak serta menghindari kewajiban membayar royalti kepada pihak-pihak yang berhak.
Pada pemahaman kedua ini, barang bajakan tersebut secara kualitas dapat mungkin dibuat nampak beda dengan produk yang dikategorikan sebagai aslinya.
Akan tetapi untuk mensiasati atau mengelabui berbagai pihak, sangat mungkin pelaku memberikan ciri khusus dengan  menurunkan kualitas kemasannya agar terhindar dari kecurigaan masyarakat, dan melemparkannya kepada penjual eceran sebagai pengalihan perhatian serta sekaligus penciptaan kambing hitam. 
Sementara pihak artis bisa mungkin benar-benar tidak mengetahui praktek-praktek yang dilakukan produser, tetapi bisa mungkin juga mengetahui namun mengambil sikap diam atau didiamkan oleh kepentingan bersama-sama dengan produsernya, semata-mata untuk menghindari kewajiban pajak dan biaya-biaya lainnya.
Bila hal itu telah menjadi pola yang apik, maka akan menyulitkan pihak kepolisian untuk membongkarnya. Dan kesulitan pihak kepolisian itu akan lebih mempersulit posisi Indonesia di arena pergaulan internasional ke depan.
Akankah kita meyakini bahwa tatkala jaringan distribusi berhasil dihancur leburkan, maka tidak akan tumbuh pola lain yang lebih apik. Buktinya di negara-negara industri maju yang selama ini dengan keras mengecam tindak pelanggaran hak cipta di Indonesia sekalipun, nyatanya belum dapat membersihkan praktek-praktek serupa.  

(Tulisan di atas telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia, edisi Rabu, 1 Oktober 2003).

Selasa, 19 Oktober 2010

HAKI DAN TANTANGAN DI ERA GLOBAL

Oleh: Medy P. Sargo

Hak Kekayaan Intelektual atau lebih dikenal dengan akronim HaKI telah mencapai usia 21 tahun diperkenalkan kepada masyarakat jika dihitung sejak diundangkan pertamakalinya undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Walaupun sebenarnya pengaturan tentang Hak Cipta sudah diatur dalam Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912.
Namun penting dicatat bahwa pengenalan masyarakat terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) belum dapat dianggap telah mencapai pada tingkat pemahaman yang memberi pengaruh kuat terhadap pembentukan budaya hukum dalam konteks harmonisasi antara norma-norma baru (norma yang diperkenalkan negara-negara industri) dengan norma yang sudah hidup dalam sanubari masyarakat Indonesia. Kendati secara substansial hak kekayaan intelektual dari waktu ke waktu semakin dilengkapi dengan beberapa instrumen hukum selain di bidang hak cipta yang sudah lebih dulu ada, disusul kemudian dengan undang-undang di bidang Paten (patent), Merek (trade mark), Perlindungan Varietas Tanaman (new plant varieties protection), Rahasia Dagang (trade secrets / undisclosed informations),  Desain Industri (industrial design), dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (lay out design of integrated circuits). Di Inggris bahkan Unfair Competition dimasukkan sebagai rejim HaKI.
Dalam perkembangannya beberapa perundang-undangan HaKI yang sudah dimiliki Indonesia sempat mengalami beberapa perubahan disesuaikan dengan norma dan standar baru internasional dalam kerangka TRIP’s (General Agreement on Trade Related aspect of Intellectual Property Rights),

Kepentingan Negara Industri
            Dalam memasuki era perdagangan bebas HaKI menjadi isu penting, terutama ketika negara-negara industri memandang bahwa jaminan perlindungan terhadap produk-produk industri di negara-negara tujuan pasarnya merupakan prasyarat bagi terjalinnya hubungan perdagangan multilateral yang harmonis. Keraguan negara-negara industri terhadap negara-negara berkembang khususnya dalam persoalan penegakan hukum menunjukkan eskalasi yang mengantarkan pada gagasan pentingnya memasukkan HaKI ke dalam masalah perdagangan melalui General Agreement on Trade
and Tariff (GATT). Hal ini  disebabkan  banyaknya  dijumpai  kasus  pemalsuan  maupun  pencurian
karya  intelektual yang merupakan kekayaan industri (industrial property). Walaupun faktanya di negara-negara industri itu sendiri pun banyak dijumpai tindak pelanggaran HaKI yang cukup serius.
Di Jepang misalnya, berdasarkan hasil penelitian MITI (Ministry of International Trade and Industry) dan JPO (Japan Patent Office) dijumpai kasus pelanggaran HAKI  khususnya di bidang copyrights, sebanyak 384 kasus yang dilakukan oleh 138 orang pada tahun 1993. Sedangkan empat tahun kemudian, yaitu pada tahun 1997 justru meningkat jumlahnya mencapai 433 kasus yang dilakukan oleh 171 orang.  Sementara di Indonesia masih sedikit kasus pelanggaran HaKI yang berhasil diangkat ke meja hijau.  Ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum.
Dalam upaya melindungi kepentingannya di pasar global, terutama ketika menyangkut penyelesaian perselisihan perdagangan HaKI,  kelompok negara-negara industri rupanya lebih menghendaki HaKI diatur melalui GATT-WTO ketimbang dalam kerangka WIPO (World Intellectual Property Organization). Hal ini disebabkan mekanisme penyelesaian perselisihan masalah HaKI melalui Mahkamah Internasional yang dianut dalam kerangka WIPO dianggap tidak efektif jika dibandingkan dengan mekanisme penyelesaian melalui GATT, yang memungkinkan bagi negara-negara industri untuk menerapkan sistem pembalasan (retaliation) dan pembalasan silang (cross retaliation), yaitu berupa sanksi-sanksi perdagangan yang dikenakan terhadap barang-barang ekspor negara yang melakukan pelanggaran dalam kerangka TRIP’s (General agreement on Trade Related Aspecs of Intellectual Property Rights).  Hal yang tak munghkin dapat diterima dalam forum WIPO dimana anggotanya didominasi negara-negara berkembang.
Mekanisme penyelesaian ini pada kenyataannya tidak memberikan keuntungan kepada negara-negara berkembang yang pada umumnya tidak memiliki posisi tawar kuat dalam hubungan perdagangan global. Selain itu mengingat sejauh ini belum ada batasan yang jelas antara  kriteria pelanggaran HaKI dan standar-standar di luar HaKI yang digunakan negara-negara industri. Indonesia pernah mengalami pembalasan silang yang dilakukan Amerika, melalui pembatasan quota ekspor tekstil ke negeri itu, hanya karena Menteri Penerangan Harmoko pada waktu itu menghimbau bioskop-bioskop twenty one untuk mengurangi dominasi pemutaran film-film Amerika, dan membantu peredaran film nasional di dalam negeri.  Dalam banyak kasus  menyangkut  perdagangan yang berkaitan dengan HaKI, posisi kita memang tidak lebih kuat dari negara-negara industri.
Itulah sebabnya mengapa penegakan hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HaKI  menjadi  perhatian  besar  negara-negara  industri.  Tentu  saja  karena HaKI  sudah menjadi masalah terkait kuat dengan industri dan perdagangan. Itu pula sebabnya kenapa negara-negara industri tidak memiliki keinginan serius untuk bersikap terbuka bagi terjadinya proses alih teknologi ke negara-negara berkembang yang menjadi mitranya. Kepentingan mempertahankan dominasi pasar di negara berkembang bagi produk-produk berteknologi maju, sudah barangtentu merupakan alasan strategis negara-negara industri.  Bagaimana pun Indonesia dengan jumlah penduduk ke empat terbesar di dunia adalah pasar potensial bagi produk-produk negara industri maju. Berbeda dengan India, sekalipun jumlah penduduknya mencapai 1 milyar lebih, tetapi kecintaan masyarakatnya terhadap produk-produk lokal mampu menjadi perisai dari serbuan dominasi produk luar negeri.

Penguasaan Teknologi

Tantangan di era global bila tidak disiasati secara taktis boleh jadi akan mendesak Indonesia pada posisi jauh kurang menguntungkan dalam pergaulan internasional, terutama dalam  hubungan perdagangan multilateral. Salah satu penyebab utama lemahnya peran Indonesia dalam pergaulan internasional adalah kurang kuatnya pemasukan devisa dari sektor industri yang bersandar pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara mandiri. Harus diakui bahwa perkembangan iptek Indonesia pada saat ini belum secara signifikan dapat mengangkat Indonesia pada pergaulan luas di tingkat internasional.
Almarhum Prof. Parangtopo, ahli fisika Universitas Indonesia mengatakan seperti yang ditulisnya dalam salah satu media cetak ibu kota (1988), bahwa kemampuan suatu negara dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menentukan bagaimana negara tersebut dapat berperan aktif dalam perkembangan dunia. Hanya negara yang ipteknya telah maju saat ini bisa mengambil peran dalam pergaulan internasional, baik dalam bidang politik, ekonomi, strategi, pertahanan keamanan maupun budaya. 
Sebagai contoh, Inggris melalui revolusi industri pertamanya pada pertengahan abad ke-18 hingga dilanjutkan revolusi industri kedua pada awal abad ke-19, dengan  keunggulan ipteknya mampu mempengaruhi negara-negara Eropa. Bahkan  Jepang  sebagai   negara  yang  berada  jauh  di belahan timur terilhami melalui restorasi Meiji-nya antara tahun  1868-1912 mengubah  negerinya  
menjadi negara industri yang berorientasi ke Barat. Terutama berkiblat ke Jerman sebagai kekuatan tandingan di belahan Eropa Barat yang mematahkan dominasi Inggris sebelumnya.
            Fakta ini menjadi pendukung dari pandangan Prof. Parangtopo, bahwa hanya negara yang ipteknya telah maju saat ini mampu memberi pengaruh dan mengambil peran dalam pergaulan internasional. Kita bisa menyaksikan bagaimana kekuatan ekonomi Amerika yang dibangun dari keunggulan teknologinya mampu menekan negara-negara dunia ketiga untuk mengakomodasi kepentingan politisnya. Bagi Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah, tentunya patut dipertanyakan secara serius, sejauh manakah mampu mengeksplorasi serta mengeksploitasi kekayaan tersebut dengan kemampuan sendiri, sehingga tidak menjadi bulan-bulanan negara maju.

Sistem HaKI Masih Dicurigai

Dalam sistem HaKI dimana Indonesia sudah manentukan sikap turut bergabung dalam perjanjian internasional TRIP’s, dimungkinkan suatu teknologi atau karya intelektual lainnya di lindungi di banyak negara yang menjadi tujuan pasar.  Sistem ini memberikan keuntungan kepada industri-industri transnasional yang mampu mengembangkan investasinya di beberapa negara, tanpa kekhawatiran produk-produknya akan diadopsi secara illegal.  Sistem HaKI paling tidak telah mampu mendorong negara-negara penganutnya untuk membangun sistem penegakan hukum yang dapat mengurangi tindak pelanggaran di bidang HaKI itu sendiri. Kendati demikian di Indonesia masih banyak pihak yang mengeluhkan, sehingga mempengaruhi pada tingkat keengganan masyarakat untuk mendaftarkan karya intelektualnya.
Dalam beberapa kasus, keluhan dari banyak kalangan terhadap sistem perlindungan HaKI pada umumnya lebih menyoroti pada hal-hal yang berkaitan dengan lemahnya penegakan hukum, tingginya biaya pendaftaran dan lambannya pelayanan administrasi. Namun belakangan menjadi sulit dibedakan antara keengganan masyarakat untuk mendaftarkan perlindungan karya intelektualnya dengan sedikitnya karya intelektual orisinal yang dihasilkan.
Bahkan masih ada yang berpendapat bahwa peniruan masih dapat dikategorikan sebagai kegiatan kreatifitas. Artinya hasil peniruan sebaiknya dianggap sebagai karya intelektual, dan karenanya berharap dapat diterima sebagai karya intelektual yang dilindungi.
Kalau mencoba mengembangkan dimensi pemikiran demikian, maka sesungguhnya dapat kita sadari bahwa ternyata masih  ada kalangan yang  belum berani mengakui  ketidak  mampuannya
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara profesional. Dari sudut hukum peniruan adalah “pencurian”. Seseorang yang meniru baru akan diberikan hak secara hukum atas  kekayaan intelektualnya jika peniruan itu telah ia kembangkan hingga mampu menghasilkan unsur kebaharuan.    
Hal yang menyedihkan adalah bila masyarakat tidak memahami sejauh mana ia boleh mengembangkan karya intelektual yang sudah ada sebelumnya, terutama di bidang software komputer. Seorang peneliti di Badan Tenaga Nuklir (Batan) Bandung sempat kebingungan ketika ia melakukan modifikasi software, apakah ia telah melakukan peniruan atau benar-benar telah menghasilkan kreasi baru. Kalangan industri software sendiri, khususnya industri software raksasa, belum menunjukkan sikap terbuka menghadapi perkembangan teknologi informasi di negara-negara berkembang.
Dalam kaitan ini, sangatlah tidak fair ketika sosialisasi HaKI hanya diarahkan pada target-target pembentukan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan “illegal adoption” terhadap suatu produk intelektual, seperti pembajakan karya cipta, peniruan, penggandaan dan sebagainya. Seakan-akan undang-undang di bidang perlindungan karya intelektual hanya diarahkan kepada masyarakat pengguna karya intelektual. Ini berarti yang dilindungi hanya para pembuat karya intelektual pendahulu. Kesan ini tentunya tidak boleh terbentuk di masyarakat.
Masyarakat juga harus diberikan informasi lengkap mengenai batasan-batasan teknis seberapa jauh ia boleh melakukan pengembangan tanpa dianggap sebagai pelanggaran. Panduan-panduan teknis ini harus cukup dibuka, sebab kalau tidak, sosialisasi pada akhirnya hanyalah sebuah upaya menakut-nakuti masyarakat agar mendeg berkreasi. Bahkan lebih jauh akan terkesan sosialisasi hanyalah sebuah upaya ekploitasi terselubung atas masyarakat pengguna produk intelektual yang dibatasi hak-haknya sebagai “homo sapien” untuk bebas berkreasi.

(Tulisan di atas telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia, edisi Rabu, 4 Juni 2003)

Minggu, 10 Oktober 2010

PATEN INDONESIA : SEBUAH IMPIAN

Oleh : Medy P. Sargo


          Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang merupakan terjemahan dari Intellectual Property Rights, agaknya masih kurang dikenal oleh masyarakat umum di Indonesia. Sementara ada yang lebih suka menyebutnya sebagai Hak Milik Intelektual, atau Kekayaan Intelektual.
          Terlepas dari semua peristilahan tersebut, ternyata istilah ini sangat berkaitan erat dengan sebuah ide yang terlahir dari kemampuan intelektual seseorang. Apakah itu merupakan ide yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah karya seni, ilmu pengetahuan maupun teknologi, semua berawal dari sebuah ide manusia, yang secara terus menerus berkembang, melahirkan inovasi-inovasi baru, dan secara terus menerus pula digunakan oleh manusia dalam kontek pensejahteraan umat secara universal.
          Khususnya di bidang teknologi, maka fakta yang dewasa ini kita hadapi adalah pergaulan dengan produk-produk teknologi, mulai dari teknologi sederhana sampai kepada teknologi maju. Baik itu merupakan teknologi yang telah berumur ratusan tahun, seperti mesin kendaraan bermotor misalnya, maupun teknologi yang baru berumur puluhan tahun, seperti perangkat komputer. Di depan generasi kita mungkin masih akan muncul jenis-jenis teknologi baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya.          Hal yang menarik dalam kaitan ini adalah siapa yang akan muncul sebagai penemu jenis-jenis teknologi baru itu. Apakah orang-orang Eropa, Amerika, Jepang, Cina, India, atau mungkin orang Indonesia. Siapa tahu.
          Inggris dan Amerika pada awalnya merupakan bangsa yang paling kaya dengan penemuan-penemuan orisinalnya di bidang teknologi. Sementara Jepang merupakan bangsa yang paling tekun melakukan modifikasi pengembangan teknologi dari Amerika dan Inggris. Beberapa produk teknologi Jepang seperti Xerox, Minolta dan Toshiba adalah contoh nyata dari penggunaan teknologi milik Amerika.

Situasi Paten.
          Soal siapa yang mendahului memiliki ide-ide bagi pengembangan suatu teknologi tertentu, maka sebenarnya telah berumur lebih dari seperempat abad adanya pemberian perlindungan hukum terhadap pemilik ide tersebut - dalam arti suatu ide yang telah dikembangkan menjadi suatu karya cipta ilmiah - yang kemudian dikenal dengan istilah Hak atas Kekayaan Intelektual.
          Untuk penemuan di bidang teknologi, maka bentuk perlindungan hukumnya di sebut Paten. Sedangkan Hak Cipta adalah bentuk perlindungan hukum atas karya cipta di bidang sastra, seni dan ilmu pengetahuan. Demikian pula terhadap Merek Dagang, Desain Produk Industri, Integrated Circuits, dan variasi HaKI lainnya, diberikan perlindungan hukum yang diatur dengan undang-undang.
          Paten memang masih merupakan hal relatif baru bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat industri khususnya. Sekalipun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual telah diterbitkan sejak tahun 1982, diawali dengan Undang-Undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (jo. UU Nomor 12 tahun 1997); Undang-Undang No.6 Tahun 1989 tentang Paten (jo. UU Nomor 13 tahun 1997) dan UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek (jo.UU Nomor 14 tahun 1997). Namun sosialisasi perangkat peraturan perundang-undangan tersebut masih kurang menjangkau kalangan yang sangat berkaitan dengan dunia kepenelitian dan industri.
          Kondisi ini menempatkan bangsa Indonesia pada posisi memilukan dalam hal tingkat pemahaman terhadap pentingnya aspek perlindungan paten bila dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang yang telah mengawali sejak tahun 1885.
          Namun kenyataan yang demikian ini juga setidaknya dipengaruhi oleh adanya kepentingan internasional terhadap negara-negara berkembang yang menghendaki diadopsinya norma-norma menurut ukuran negara maju, yang lebih didominasi negara-negara barat. Pada forum-forum internasional bermacam indikator kelemahan negara-negara berkembang kerapkali diangkat ke permukaan untuk memberikan penilaian plus-minusnya suatu negara dalam pengelolaan HaKI, khususnya dalam aspek law enforcement. Indonesia merupakan salah satu negara yang terpojok dalam hal ini.
         Tahun 1997 Indonesia telah meratifikasi lima perjanjian internasional yang berkaitan dengan kekayaan intelektual, antara lain :
1.  Paris Convention for the Protection Industrial Property, and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (WIPO);
2.  Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT;
3.  Trademarks Law Treaty (TLT);
4.  Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works;  dan
5.  WIPO Copyrights Treaty.
          Keputusan Indonesia untuk bergabung dalam perjanjian internasional tersebut nampaknya belum cukup menolong bagi “kesehatan” sistem proteksi atas kekayaan intelektual milik bangsa Indonesia sendiri. Ada pendapat bahwa ketentuan internasional seperti yang tertuang dalam konvensi internasional TRIPs (Trade Related to Intellectual Property rights) yang juga telah ditandatangani Indonesia, lebih banyak menguntungkan kepentingan negara-negara maju. Namun sebagai negara berkembang yang masih banyak menggantungkan industrinya pada hasil-hasil penelitian negara maju, nampaknya Indonesia tidak punya pilihan lain.
          Sejauh ini pengenalan segala lapisan masyarakat terhadap sistem paten atau pemahaman akan pentingnya perlindungan paten sangat rendah. Namun hal ini pun dipengaruhi oleh ketidaksiapan institusi-institusi yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem paten, seperti lembaga riset baik pemerintah maupun swasta, perguruan tinggi, dan bahkan Kantor Paten sendiri.
          Kurang giatnya penyelenggaraan sosialisasi sistem HaKI secara meluas, mulai dari lembaga riset/perguruan tinggi hingga industri kecil di pedesaan telah memberikan gambaran yang menyedihkan, betapa bangsa kita kurang mementingkan aspek perlindungan atas hasil-hasil risetnya.
          Dunia kepenelitian yang diselenggarakan di lembaga-lembaga penelitian, seperti universitas, litbang pemerintah dan Divisi R & D milik swasta, belum berorientasi kepada paten. Situasi ini sangat berbeda dengan di Jepang, misalnya. Dari catatan Noriyoshi Kikuchi - Deputi Direkur  Kebijaksanaan Industri -MITI pada makalah ceramahnya berjudul The Law for Promoting University: Industry Technology Transfer ( 6 Oktober 1998), menyebutkan bahwa jumlah peneliti di universitas-universitas negeri itu sekitar 240.000 orang. Jumlah ini sepertiga dari jumlah peneliti secara keseluruhan di Jepang yaitu 670.000 orang pada tahun1994.
          Dari jumlah tersebut diatas hanya menghasilkan 129 permintaan paten, atau 0,04% dari total paten domestik. Keadaan ini dianggap tidak cukup baik, sehingga pemerintah Jepang mendukung diadakannya suatu lembaga yang dapat membantu meningkatkan kegiatan penelitian dan pengelolaan hasil-hasil penelitian di universitas. Dibentuklah TLO’ (Technology Licensing Organization) yang menangani pengelolaan sejak dari pemrosesan permintaan paten, pemasarannya, hingga penanganan kontrak-kontrak lisensi dengan pihak ketiga.

Orientasi paten.
          Terlalu sedikit untuk menyebutkan angka yang berkaitan dengan jumlah peneliti dan hasil-hasil penelitian di Indonesia. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan jumlah paten yang telah dihasilkan peneliti yang bekerja di berbagai institusi penelitian. Jangan coba-coba membandingkan dengan negara-negara Asean, seperti Thailand, Malaysia, Filipina dan Singapore, kalau kita tidak ingin dibuat malu. Yang pasti dewasa ini Indonesia sedang menelusuri sebuah lorong menuju pemberlakuan diskriminasi internasional pada Januari 2000 apabila tidak mampu meningkatkan jumlah permintaan paten domestik.
          Pada tahun 1994, satu tahun sebelum TRIP’s di canangkan, jumlah permntaan paten domestik hanya sekitar 3,15% dari 2.383 buah jumlah total permintaan paten (domestik dan asing). Jika dalam waktu lima tahun setelah pemberlakuan TRIP’s, Indonesia tidak mampu mengubah jumlah tersebut mencapai sekurang-kurangnya 10%, maka produk-produk perdagangan Indonesia akan dicurigai sebagai hasil pelanggaran HaKI.
          Akibat terburuknya adalah penolakan masuknya atas barang-barang produk Indonesia ke suatu negara tertentu di Eropa atau Amerika. Belum lagi ada kemungkinan kita harus membayar royalti kepada suatu negara yang telah mengklaim patennya atas jenis produk tertentu yang masuk dari Indonesia.
          Satu-satunya yang dapat menolong situasi ini adalah digiatkannya gerakan terpadu terhadap kegiatan penelitian yang berorientasi paten, kebijaksanaan industri yang berorientasi paten, sistem pangajaran di sekolah-sekolah kejuruan teknik dan fakultas teknik yang berorientasi paten, dan sistem penyelenggaraan pengelolaan paten - sejak dari pendaftaran hingga penegakan hukum - yang benar-benar berorientasi pada kepentingan paten.

Penelusuran Informasi Paten.
          Penelusuran (searching) informasi paten merupakan bagian terpenting dalam upaya peningkatan paten suatu negara. The Japanese Patent Office (JPO) sejak Maret 1999 telah menyediakan sarana komputer yang terakses ke internet untuk digunakan kalangan umum tanpa bayar (free of charge) bagi keperluan searching. Pungutan dikenakan hanya apabila memerlukan hard copynya.
          Selain itu, sebuah perpustakaan milik pemerintah, IPDL (Industrial Property Digital Library) memungkinkan bagi kalangan umum (individual, kalangan industri, universitas, dan lembaga riset) untuk memanfaatkannya, melakukan akses ke seluruh official gazette store di JPO, yang memiliki 40 juta dokumen IP sejak tahun 1885.
          Kemajuan dalam sistem searching sebagaimana yang telah diterapkan di Jepang sangat membantu peneliti dalam mencari data tentang paten-paten yang telah ada, sehingga sejak awal dapat dihindari adanya duplikasi penemuan atau klaim atas paten. Dari sisi hukum memandang kemajuan ini sebagai dukungan besar terhadap upaya penegakan hukum, oleh karena setidak-tidaknya sejak awal setiap orang sudah diarahkan kepada upaya penghindaran terjadinya duplikasi penelitian. Karena selain dapat menghindari terjadinya pemborosan dana, juga akan mengurangi terjadinya perselisihan.
          Nampak ada unsur pembudayaan terhadap sikap menghindari duplikasi penellitian. Apakah hal ini dapat ditiru oleh Indonesia ? Sungguh merupakan pilihan yang baik, kalau saja Pemerintah menempatkan persoalan ini pada prioritas penting dengan dukungan dana memadai tentunya. Bagaimanapun hal ini akan tetap merupakan impian bagi kita semua, dan memberikan makna pada sebuah slogan kebangkitan teknologi nasional. Semoga demikian.

(Tulisan di atas telah dimuat di Harian Republika, edisi Kamis, 26 Agustus 1999).